Rencana pemerintah memungut dana masyarakat untuk program ketahanan energi perlu dimatangkan lebih dulu sebelum diterapkan. Ide yang diusung oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said itu masih prematur. Gagasan tersebut bukan hanya belum ada payung hukumnya, tapi juga masih liar. Siapa pengelolanyapemerintah, BUMN, ataukah swastakita belum tahu. Bahkan Menteri Keuangan pun tak tahu-menahu ihwal dana tersebut.
Ide pungutan dana ketahanan energi disampaikan Sudirman pekan lalu saat mengumumkan penurunan harga bahan bakar minyak yang berlaku mulai 5 Januari mendatang. Harga Premium turun dari Rp 7.300 menjadi Rp 7.150 per liter. Adapun harga solar juga dipangkas dari Rp 6.700 menjadi Rp 5.950 per liter. Harga baru itu sudah termasuk pungutan dana ketahanan energi sebesar Rp 200 per liter untuk Premium dan Rp 300 per liter untuk solar. Dengan pungutan tersebut, diperkirakan pemerintah meraup dana ketahanan energi Rp 15-16 triliun per tahun. Pemerintah semestinya tak boleh main-main dengan dana sebesar itu.
Ide dana ketahanan energi ini sebenarnya mulia. Pungutan ini diharapkan bisa sedikit "memaksa" pengguna kendaraan pribadi beralih ke transportasi publik. Bagi pemerintah, dana itu bisa digunakan untuk mendorong percepatan konversi energi fosil ke energi hijau dan terbarukan. Sayangnya, keputusan tersebut dibuat dengan terburu-buru. Walhasil, Sudirman pun dihujani protes. Sebagian masyarakat menuding pungutan itu pungli!
Agar tidak jadi bulan-bulanan, pemerintah harus memperjelas pijakan hukumnya. Argumen pemerintah yang bersandar pada Pasal 29 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang energi sangat lemah. Pasal itu sama sekali tidak mengatur pungutan melalui harga BBM. Begitu pula Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, tidak merinci tata cara pemungutan dana. Solusinya, pemerintah harus membuat peraturan khusus yang mengatur rencananya itu.
Masalah tak berhenti pada dasar hukum semata. Siapa yang mengelola dana inipemerintah, BUMN, ataukah lembaga khusus? Bagaimana transparansi penggunaannya? Jika tak ada aturan yang rinci, kita khawatir dana itu hanya akan jadi bancakan korupsi baru.
Soal konversi energi fosil ke biofuel dan energi terbarukan, pemerintah semestinya mafhum bahwa dana energi bukanlah obat sapujagat. Selama ini, kendala justru muncul karena ketidakberpihakan pemerintah terhadap energi hijau. Contohnya, pemerintah pernah "mewajibkan" penggunaan campuran 20 persen minyak sawit untuk biosolar. Namun kebijakan ini juga dibiarkan terbengkalai.
Itulah sebagian persoalan yang menjelaskan mengapa target bauran energi Indonesia pada 2025yakni penggunaan biofuel mencapai 5 persen dan energi terbarukan 17 persenmuskil tercapai. Target tersebut, menurut Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, ada kemungkinan hanya akan tercapai separuhnya. Ini saatnya Presiden Joko Widodo merapatkan barisan untuk mengejar target energi terbarukan itu dan bukan asal bicara atau membuat keputusan ngawur.