Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Cul-de-Sac

Oleh

image-gnews
Iklan

Politik jadi sebuah cul-de-sac ketika ia selamanya ditentukan oleh penghitungan kekuatan. Ia hanya jalan bolak-balik di tempat yang sama, di gang buntu itu, ketika ia kehilangan panggilan untuk melintasi langkahnya sendiri yang diukur. Para pelakunya jadi penunggang yang pada dasarnya anteng di komedi kuda-putar: mereka menerima kenyataan bahwa politik adalah persaingan bukan untuk memperoleh hal-hal yang muluk dan rumit, melainkan untuk mendapatkan apa yang mungkin saja.

Persoalannya, memang, adakah sesuatu yang lain - katakanlah yang muluk dan rumit -- yang bisa menyeru dan memukau di luar cul-de-sac itu? Adakah sebuah cakrawala yang ingin diraih, bukan berupa kekuasaan yang lebih besar, melainkan apa yang "baik" bagi kehidupan bersama, sesuatu yang membuat manusia bukan sekedar elemen pasif dari sebuah situasi?

Bahwa kini pertanyaan itu timbul, itu karena zaman makin lama makin dibentuk oleh skeptisisme. Bahkan mungkin sinisme. Hidup sepenuhnya dianggap percaturan kekuasaan; tak ada yang di luar itu. Juga ketentuan mana yang "baik" dan "buruk" dianggap sebagai nilai-nilai yang dibuat dan ditentukan oleh adu kepentingan dan daya pengaruh; bukan oleh sesuatu yang transendental.

Apa boleh buat. Sejarah memang banyak mendatangkan "bukti" bahwa yang transendental itu hanya ada sebagai hasil fantasi. Tuhan disebut tiap hari, tapi pada saat yang sama diperlakukan sebagai berhala besar yang berdiri di belakang para ventrilonquist. Orang-orang ini berpura-pura menghadirkan suara yang datang dari langit, ya, dari berhala itu, tapi berangsur-angsur orang tahu bahwa yang bicara adalah perut manusia juga.

Manusia lebih dewasa, tapi juga lebih tak gampang berilusi. Zaman modern adalah zaman yang menggugat. Di zaman inilah terjadi apa yang bisa disebut sebagai "transisi dari sukma ke jiwa", a transition from the soul to the psyche, sebagaimana kata Terry Eagleton dalam bukunya yang terbaru, On Evil (Yale University Press, 2010). Dengan kata lain, manusia tak lagi mencari penjelasan pada theologi, tetapi pada psikoanalisis.

Dan itu bukan transisi yang sulit. Sebab, tulis Eagleton pula, kedua-duanya adalah "kisah hasrat manusia", "narratives of human desire". Kedua-duanya menganggap manusia dilahirkan cacat. Agama Kristen menyebutnya "dosa asal", sedang kaum psikoanalis, dimulai oleh Freud, menyebutnya sebagai "neurosis". Kedua-duanya punya janji penyembuhan. Baik agama maupun psikoanalisis menganggap manusia yang cacat itu masih bisa diselamatkan. Bagi agama, penyelamatan itu tersedia dengan cara masuk Kristen atau agama yang lain; bagi psikoanalisis, orang bisa selamat dengan mengurai dan mengarahkan traumanya.

Dengan transisi dari theologi ke psikoanalisis itu - ketika sukma manusia tak lagi diakui, dan yang diakui hanya jiwa - orang diam-diam makin tak percaya bahwa ada hal-hal yang bisa disebut "transendental". "Sukma" berhubungan dengan yang "ilahi"; "jiwa" berhubungan dengan hasrat badani.

Dalam ketidak-percayaan itu, nilai-nilai jadi tergantung kepada apa yang dialami badan di dunia, dengan ruang dan waktu tertentu. Tak ada yang bisa mengatasi ruang dan waktu itu. Maka yang "baik" bagi orang Kristen dianggap lahir dari pengalaman manusia Kristen di sebuah zaman dan sebuah tempat; artinya tak berarti "baik" bagi orang Islam di sebuah masa dan negeri yang berbeda. Transendensi tak meyakinkan lagi. Yang ada imanensi

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi benarkah kehidupan hanya bersifat imanen? Yang menarik ialah bahwa Eagleton, seorang Marxis, tak melihat transendensi sepenuhnya bisa dinafikan. Banyak hal, tulisnya, misalnya seni dan bahasa, yang bukan sekedar respons dan pantulan keadaan sosialnya. Meskipun itu tak berarti hal-hal itu "jatuh dari langit".

Sebab manusia bukanlah cuma cerita badan dan tanah. Dalam pengalaman kita, tak ada konflik antara hal-hal yang lahir dari sejarah ("the historical") dan hal-hal yang melampau sejarah ("the transcendental"). Ini karena sejarah justru "merupakan sebuah proses transendensi-diri". Manusia sebagai "mahluk sejarah" adalag makhluk yang mampu mengatasi dirinya sendiri. Seorang Marxis, berbeda dengan seorang penganut materialisme Fuerbach, percaya bahwa zat bukan yang menentukan; selalu ada dialektik.

Maka transendensi bukan omong-kosong. Eagleton menyebut ada transendensi yang "vertikal" dan yang "horisontal". Yang pertama dianggap hal yang diturunkan dari luar sejarah, dari Tuhan, misalnya. Yang kedua merupakan bagian dan sekaligus loncatan melampaui batas-batas sejarah.

Saya kira, di situlah kita bisa kembali percaya bahwa ada nilai-nilai yang tak hanya merupakan hasil konstruksi hubungan-hubungan sosial di suatu masa di suatu tempat. Di situlah kita bisa percaya bahwa politik sebenarnya mampu bergerak meloncat melampaui pusarannya sendiri. Politik bisa jadi gerak yang terpanggil untuk menjangkau sesuatu yang transendental, meskipun tak membawa-bawa Tuhan. Politik cukup sah untuk merasa diseru buat melakukan yang "baik" bagi semua orang meskipun itu usaha perjuangan sekelompok orang.

Artinya, kita tak usah menyerah dengan mudah kepada politik dengan sinisme. Kita masih bisa percaya bahwa ada nilai-nilai yang menggugah manusia di luar cul-de-sac itu. Kita tak usah selalu menghalalkan bahwa politik adalah perhitungan kekuatan, tak lebih dan tak kurang. Kita masih bisa menampik pandangan "siapa yang kuat akan dapat" dan "yang lemah tak akan pernah benar".

Maka kita bisa, dan kita perlu, kembali ke politik yang tergoda oleh cakrawala, ke dalam apa yang dikatakan Eagleton sebagaia process of self-transcendence. Tanpa itu, kita hanya jadi bidak catur yang merasa menggerakkan langkahnya sendiri mengikuti siasat.

Padahal, kita tiap kali harus jadi manusia, tiap kali bisa jadi manusia.Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Penonton Siksa Kubur Salip Badarawuhi di Desa Penari, Manoj Punjabi: Kompetisi Makin Sehat

2 menit lalu

Poster film Siksa Kubur. Dok. Poplicist
Penonton Siksa Kubur Salip Badarawuhi di Desa Penari, Manoj Punjabi: Kompetisi Makin Sehat

Produser MD Entertainment Manoj Punjabi Badarawuhi di Desa Penari, mengucapkan selamat atas capaian Siksa Kubur.


Cara Shin Tae-yong Meramu Pemain Muda Dinilai Jadi Kunci Naikkan Level TImnas Indonesia di Asia

20 menit lalu

Pelatih Timnas Indonesia Shin Tae-yong bersama para pemainnya di Piala Asia U-23 2024. Doc. AFC.
Cara Shin Tae-yong Meramu Pemain Muda Dinilai Jadi Kunci Naikkan Level TImnas Indonesia di Asia

Ronny Pangemanan menilai kombinasi pemain muda lokal dan naturalisasi di bawah arahan Shin Tae-yong melahirkan Timnas Indonesia yang bagus.


Empat Tahun Pacaran, Ranty Maria Dilamar Rayn Wijaya di Tempat Impiannya

1 jam lalu

Rayn Wijaya melamar Ranty Maria. Foto: Instagram.
Empat Tahun Pacaran, Ranty Maria Dilamar Rayn Wijaya di Tempat Impiannya

Ranty Maria mendapat lamaran dari sang kekasih, Rayn Wijaya tepat di hari ulang tahunnya ke-25 di tempat yang sudah lama diimpikannya.


Pameran K-Pop D'Festa Siap Hadir Selama 45 Hari di Jakarta, Catat Tanggalnya

2 jam lalu

Konferensi Pers Pameran K-Pop D'Festa 2024 di Jakarta/Tempo-Mitra Tarigan
Pameran K-Pop D'Festa Siap Hadir Selama 45 Hari di Jakarta, Catat Tanggalnya

Para penggemar K-Pop akan segera dimanjakan dengan pameran K-Pop D'Festa, di Jakarta.


Perjalanan Politik Nikson Nababan Menuju Gubernur Sumatera Utara

3 jam lalu

Perjalanan Politik Nikson Nababan Menuju Gubernur Sumatera Utara

April yang lalu, suasana kediaman Tuan Guru Batak (TGB) Syekh Dr. H. Ahmad Sabban El-Ramaniy Rajagukguk, M.A di Simalungun menjadi saksi pertemuan penting antara Nikson Nababan, Ketua DPC PDI Perjuangan Tapanuli Utara, dengan tokoh agama yang berpengaruh.


MK Gelar Sidang Sengketa Pileg Mulai Pekan Depan, KPU Siapkan Ini

3 jam lalu

Sidang putusan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 dihadiri 8 hakim, gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin, 22 April 2024.  TEMPO/ Febri Angga Palguna
MK Gelar Sidang Sengketa Pileg Mulai Pekan Depan, KPU Siapkan Ini

Terdapat 16 partai politik yang mendaftarkan diri dalam sengketa Pileg 2024.


FFI Pertimbangkan Penambahan Kategori Baru di Festival Tahun Depan

3 jam lalu

Ketua Bidang Penjurian FFI 2024-2026 Budi Irawanto. Foto: Instagram.
FFI Pertimbangkan Penambahan Kategori Baru di Festival Tahun Depan

FFI masih harus mendiskusikan hal tersebut sebagai kategori baru sehingga belum bisa ditambahkan pada FFI 2024.


Terobos Lampu Merah, Menteri Ekstremis Israel Ben-Gvir Kecelakaan

3 jam lalu

Kendaraan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir terlibat dalam kecelakaan di Ramle pada 26 April 2024. (Screencapture/X)
Terobos Lampu Merah, Menteri Ekstremis Israel Ben-Gvir Kecelakaan

Mobil Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir terbalik dalam kecelakaan mobil karena menerobos lampu merah


Hasil Piala Asia U-23, Uzbekistan Taklukkan Juara Bertahan Arab Saudi

4 jam lalu

Timnas Uzbekistan saat melawan Timnas Arab Saudi, di perempat final Piala Asia U-23 2024. Foto/Video/rcti
Hasil Piala Asia U-23, Uzbekistan Taklukkan Juara Bertahan Arab Saudi

Uzbekistan akan menjadi lawan Indonesia di semifinal Piala Asia U-23 pada Senin, 29 April 2024.


Youtuber Jang Hansol dan Food Vlogger Om Kim Senang Indonesia Kalahkan Korea Selatan

4 jam lalu

Youtuber, Jang Hansol. Foto: Instagram.
Youtuber Jang Hansol dan Food Vlogger Om Kim Senang Indonesia Kalahkan Korea Selatan

Jang Hansol menyebut kekalahan Korea Selatan dari Timnas U-23 bisa menjadi pembelajaran berharga bagi sepak bola di negaranya.