Politik jadi sebuah cul-de-sac ketika ia selamanya ditentukan oleh penghitungan kekuatan. Ia hanya jalan bolak-balik di tempat yang sama, di gang buntu itu, ketika ia kehilangan panggilan untuk melintasi langkahnya sendiri yang diukur. Para pelakunya jadi penunggang yang pada dasarnya anteng di komedi kuda-putar: mereka menerima kenyataan bahwa politik adalah persaingan bukan untuk memperoleh hal-hal yang muluk dan rumit, melainkan untuk mendapatkan apa yang mungkin saja.
Persoalannya, memang, adakah sesuatu yang lain - katakanlah yang muluk dan rumit -- yang bisa menyeru dan memukau di luar cul-de-sac itu? Adakah sebuah cakrawala yang ingin diraih, bukan berupa kekuasaan yang lebih besar, melainkan apa yang "baik" bagi kehidupan bersama, sesuatu yang membuat manusia bukan sekedar elemen pasif dari sebuah situasi?
Bahwa kini pertanyaan itu timbul, itu karena zaman makin lama makin dibentuk oleh skeptisisme. Bahkan mungkin sinisme. Hidup sepenuhnya dianggap percaturan kekuasaan; tak ada yang di luar itu. Juga ketentuan mana yang "baik" dan "buruk" dianggap sebagai nilai-nilai yang dibuat dan ditentukan oleh adu kepentingan dan daya pengaruh; bukan oleh sesuatu yang transendental.
Apa boleh buat. Sejarah memang banyak mendatangkan "bukti" bahwa yang transendental itu hanya ada sebagai hasil fantasi. Tuhan disebut tiap hari, tapi pada saat yang sama diperlakukan sebagai berhala besar yang berdiri di belakang para ventrilonquist. Orang-orang ini berpura-pura menghadirkan suara yang datang dari langit, ya, dari berhala itu, tapi berangsur-angsur orang tahu bahwa yang bicara adalah perut manusia juga.
Manusia lebih dewasa, tapi juga lebih tak gampang berilusi. Zaman modern adalah zaman yang menggugat. Di zaman inilah terjadi apa yang bisa disebut sebagai "transisi dari sukma ke jiwa", a transition from the soul to the psyche, sebagaimana kata Terry Eagleton dalam bukunya yang terbaru, On Evil (Yale University Press, 2010). Dengan kata lain, manusia tak lagi mencari penjelasan pada theologi, tetapi pada psikoanalisis.
Dan itu bukan transisi yang sulit. Sebab, tulis Eagleton pula, kedua-duanya adalah "kisah hasrat manusia", "narratives of human desire". Kedua-duanya menganggap manusia dilahirkan cacat. Agama Kristen menyebutnya "dosa asal", sedang kaum psikoanalis, dimulai oleh Freud, menyebutnya sebagai "neurosis". Kedua-duanya punya janji penyembuhan. Baik agama maupun psikoanalisis menganggap manusia yang cacat itu masih bisa diselamatkan. Bagi agama, penyelamatan itu tersedia dengan cara masuk Kristen atau agama yang lain; bagi psikoanalisis, orang bisa selamat dengan mengurai dan mengarahkan traumanya.
Dengan transisi dari theologi ke psikoanalisis itu - ketika sukma manusia tak lagi diakui, dan yang diakui hanya jiwa - orang diam-diam makin tak percaya bahwa ada hal-hal yang bisa disebut "transendental". "Sukma" berhubungan dengan yang "ilahi"; "jiwa" berhubungan dengan hasrat badani.
Dalam ketidak-percayaan itu, nilai-nilai jadi tergantung kepada apa yang dialami badan di dunia, dengan ruang dan waktu tertentu. Tak ada yang bisa mengatasi ruang dan waktu itu. Maka yang "baik" bagi orang Kristen dianggap lahir dari pengalaman manusia Kristen di sebuah zaman dan sebuah tempat; artinya tak berarti "baik" bagi orang Islam di sebuah masa dan negeri yang berbeda. Transendensi tak meyakinkan lagi. Yang ada imanensi
Tapi benarkah kehidupan hanya bersifat imanen? Yang menarik ialah bahwa Eagleton, seorang Marxis, tak melihat transendensi sepenuhnya bisa dinafikan. Banyak hal, tulisnya, misalnya seni dan bahasa, yang bukan sekedar respons dan pantulan keadaan sosialnya. Meskipun itu tak berarti hal-hal itu "jatuh dari langit".
Sebab manusia bukanlah cuma cerita badan dan tanah. Dalam pengalaman kita, tak ada konflik antara hal-hal yang lahir dari sejarah ("the historical") dan hal-hal yang melampau sejarah ("the transcendental"). Ini karena sejarah justru "merupakan sebuah proses transendensi-diri". Manusia sebagai "mahluk sejarah" adalag makhluk yang mampu mengatasi dirinya sendiri. Seorang Marxis, berbeda dengan seorang penganut materialisme Fuerbach, percaya bahwa zat bukan yang menentukan; selalu ada dialektik.
Maka transendensi bukan omong-kosong. Eagleton menyebut ada transendensi yang "vertikal" dan yang "horisontal". Yang pertama dianggap hal yang diturunkan dari luar sejarah, dari Tuhan, misalnya. Yang kedua merupakan bagian dan sekaligus loncatan melampaui batas-batas sejarah.
Saya kira, di situlah kita bisa kembali percaya bahwa ada nilai-nilai yang tak hanya merupakan hasil konstruksi hubungan-hubungan sosial di suatu masa di suatu tempat. Di situlah kita bisa percaya bahwa politik sebenarnya mampu bergerak meloncat melampaui pusarannya sendiri. Politik bisa jadi gerak yang terpanggil untuk menjangkau sesuatu yang transendental, meskipun tak membawa-bawa Tuhan. Politik cukup sah untuk merasa diseru buat melakukan yang "baik" bagi semua orang meskipun itu usaha perjuangan sekelompok orang.
Artinya, kita tak usah menyerah dengan mudah kepada politik dengan sinisme. Kita masih bisa percaya bahwa ada nilai-nilai yang menggugah manusia di luar cul-de-sac itu. Kita tak usah selalu menghalalkan bahwa politik adalah perhitungan kekuatan, tak lebih dan tak kurang. Kita masih bisa menampik pandangan "siapa yang kuat akan dapat" dan "yang lemah tak akan pernah benar".
Maka kita bisa, dan kita perlu, kembali ke politik yang tergoda oleh cakrawala, ke dalam apa yang dikatakan Eagleton sebagaia process of self-transcendence. Tanpa itu, kita hanya jadi bidak catur yang merasa menggerakkan langkahnya sendiri mengikuti siasat.
Padahal, kita tiap kali harus jadi manusia, tiap kali bisa jadi manusia.Goenawan Mohamad