Anda belum menyetor surat pemberitahuan (SPT) pajak? Apa kata dunia jika Anda tak taat aturan. Jadilah orang bijak (karena taat bayar pajak, bukan karena pinter) seperti saya. Saya sudah menyetor SPT tahunan pajak penghasilan, pekan lalu, di sebuah kota kecil di Bali.
Saya serahkan berkas kepada petugas. Sambil dia meneliti, saya ceritakan bahwa saat ini saya sudah pensiun. Tapi saya masih menulis di koran dan majalah, dan saya memperoleh penghasilan yang sudah dipotong pajak, dan ada bukti setoran pajaknya. Jadi, dalam laporan ini, pajak saya nihil. Meskipun di sini nihil, Bapak sudah menyetor pajak delapan juta lebih ke negara, Bapak orang bijak, kata petugas. Saya merasa tersanjung.
Tiba-tiba dia bertanya: Masak sih setelah pensiun Bapak tak punya pekerjaan lain? Bapak masih sehat. Terpana sejenak, saya menjawab: Pekerjaan saya malah lebih banyak. Ada orang meninggal, saya disuruh memberi doa; orang kawin, saya diundang memberi pesan-pesan; belum lagi urusan sembahyang. Yang tak banyak penghasilannya berupa uang. Kadang ada, kadang malah rugi karena saya harus membeli bensin. Tapi istri saya jarang ke pasar, ada saja tiap hari orang datang membawakan ubi, pepaya, pisang, termasuk sekilo-dua kilo beras. Ini nikmatnya jadi pandito ndeso. Bagaimana memasukkan itu dalam SPT?
Ada lampiran yang belum diisi. Bapak punya mobil? kata petugas. Ada mobil tua hibah dari kantor yang dulu. Kok bisa dapat hibah? tanyanya. Hadi Utomo mantan Dirjen Pajak saja dapat hibah miliaran, masak saya enggak boleh dapat hibah, jawab saya, lalu saya disuruh menulis jenis mobil dan perkiraan harganya.
Punya harta lain? tanya dia lagi. Ada laptop hibah dari Pemred Majalah Tempo, ada kompor gas, ada handphone. Itu enggak usah diisi. Punya utang? tanyanya. Karena saya tak boleh lagi berbisnis, haram punya utang. Yang banyak utang budi, termasuk pada negara, itu sebabnya saya punya NPWP. Adik lulusan STAN? spontan saja saya bertanya soal itu.
Jangan menyindir, saya bukan Gayus Tambunan, jawabnya. Ah, cepat-cepat saya jelaskan, saya bukan menyindir. STAN itu kampus yang tenang, mahasiswanya punya organisasi keagamaan yang baik, saya pernah diundang ke sana. Kalau adik lulusan STAN, jaga nama almamater, kata saya. Dia mengulurkan tangan, dan saya jabat karena urusan sudah selesai.
Malam harinya, anak saya menelepon. Dia bilang ada petugas pajak yang datang, dan saya harus bayar pajak empat juta plus denda. Kilas balik sedikit, tahun 2006 saya menulis dan menerbitkan buku agama, dan Departemen Agama berminat membelinya untuk proyek. Syaratnya, harus ada NPWP. Karena nilai transaksi Rp 40 juta, ya, diuruslah NPWP itu. Buku dijual dengan harga dasar, saya pikir berdosa membisniskan agama.
Kita harus bayar pajak PPN 10 persen ditambah denda, kata anak saya. Kenapa baru sekarang dipersoalkan? Untungnya saja tak ada, buku itu kan pengabdian? Katanya, itu peraturan. Makanya kalau enggak ngerti bisnis, ya, jangan punya NPWP, kata anak saya.
Karena saya lama merenung, anak saya memberi solusi: Kata teman saya, suap petugas pajak satu juta, urusannya selesai. Kok sekecil itu menyuap? La, kalau nunggaknya seratus miliar, baru suapnya miliaran seperti yang diterima Gayus Tambunan. Kalau ngemplangnya 2,1 triliun? Itu lain lagi, harus jadi politisi dulu dan menggoyang pemerintahan, kata anak saya. Bagaimana, Pak, bayar empat juta, apa suap satu juta?
Bayar, kata saya cepat. Apa kata dunia kalau Gayus dibiarkan dipelihara di mana-mana.