Seno Gumira Ajidarma, wartawan panajournal.com
Di warung kopi, politik yang saya maksudkan adalah politik praktis, artinya politik dalam pengertian sempit, yang urusannya adalah seberapa banyak mendapatkan massa pemilih, kursi di parlemen, serta jago-jago partai yang menjadi menteri, syukur-syukur menjadi presiden plus wakil presiden. Namun kata "syukur-syukur" di sini cukup keliru. Yang lebih tepat adalah "sebisa mungkin", artinya tidak dipasrahkan kepada nasib, melainkan dicapai dengan strategi dan taktik! Ya, Realpolitik sebagai integrasi kuasa, moralitas, dan kepentingan pribadi ke dalam 'kebijakan dari yang mungkin' (Bullock & Trombley, 1999: 733), bukanlah politik dalam pengertian luas, seperti berjuang demi khalayak miskin, emansipasi perempuan, pemberantasan kebodohan, dan kepentingan lingkungan hidup.
Tentu perjuangan politik demi posisi dalam struktur kekuasaan wajib menyebut-nyebut "maksud dan tujuan" serta "visi dan misi" yang mulia, tapi juga klise, itu sebagai "asas kepatutan" dalam kampanye. Namun, di warung kopi pun, dengan logis telah ditandai bahwa semua itu pemulas bibir melalui lidah yang tidak bertulang, karena terbukti segala perjuangan yang ada hanyalah demi kemenangan partai, golongan, kelompok, bahkan pribadi tertentu saja. Dengan demikian, politik dalam pengertian sempit ini memang berlangsung juga di luar gelanggang pergulatan antarpartai.
Perhatikan drama politik yang bertajuk "Polri versus KPK". Presiden mencalonkan Budi Gunawan sebagai Kepala Polri, kemudian KPK seperti berhasil menggugurkan Budi ketika Presiden menggantikannya dengan Badrodin Haiti. Namun bukan saja KPK menjadi babak-belur oleh serangan balik Polri, tapi Budi Gunawan juga hadir kembali sebagai Wakil Kepala Polri. Ia tinggal selangkah lagi menuju posisi Kapolri, ketika Badrodin sudah mau pensiun. Bukankah naif untuk mengatakan hal itu kebetulan? Ini mengingatkan kita pada munculnya acara televisi Bukan Empat Mata sebagai akibat penutupan acara Empat Mata, yang cukup vulgar sebagai taktik, tapi melenggang tanpa kritik.
Dengan kata lain, fenomena politik merupakan taktik. Sudah sering strategi politik dikaji, dipadankan, dan dibandingkan dengan strategi perang dan tarung, dari Sun Tzu sampai Musashi, bahkan juga dengan strategi dan taktik dalam pertandingan sepak bola! Namun yang tidak kalah memungkinkan adalah mengamati (dan menjalankan!) langkah-langkah politik dengan referensi langkah-langkah permainan catur. Dalam buku-buku catur, akan terbaca berbagai topik kajian atau usul taktik permainan yang terdengar sama belaka dengan strategi perang ataupun politik.
Taktik yang sering disebut adalah taktik penjepitan (pinning), yang dijelaskan sebagai suatu serangan terhadap satu buah catur yang menutupi buah catur kedua dari serangan. Pihak yang diserang dengan cara ini disebutkan telah terjepit (Reinfeld, 1955: 12). Ini merupakan serangan dari dua arah, Ratu Putih (Q4) dan Menteri Putih (KN5) kepada Kuda Hitam (KB2), yang jika pergi akan membuat Raja Hitam (KN2) dan Ratu Hitam (Q1) terancam. Jika tidak pergi, ia akan terbunuh dan Raja Hitam serta Ratu Hitam tetap terancam. Seorang pelaku politik, dengan sedikit imajinasi, akan mudah menggantikan Raja Hitam dan Ratu Hitam sebagai buah catur dengan "tokoh-tokoh sasaran" dalam Realpolitik.
Taktik lainnya adalah Serangan Ganda (double attack). Jenis serangan ini, yakni serangan serempak oleh satu buah catur atas dua buah catur yang bermusuhan, disebut sebagai esensi permainan catur, yakni serangan yang ekonomis dan menguntungkan. Ini akan menarik bagi pemain catur (atau pelaku politik) yang tahu bagaimana mendapatkan efek maksimum dari buah caturnya (Ibid., h. 44). Digambarkan, ketika Menteri Hitam (K4) siap lari dari ancaman Kuda Putih (KN4), Pion Putih (KR3) maju mengancam Kuda Hitam. Jika Kuda Hitam lari, akan tewaslah Menteri Hitam, jika tidak lari, matilah Kuda Hitam. Dalam catur (ataupun politik), dengan taktik yang jitu, bahkan Pion pun dapat melakukan langkah-langkah menentukan!
Catur mengandalkan 99 persen taktik. Sebenarnyalah langkah-langkah catur itu terbandingkan dengan permainan kekuasaan dalam politik, sehingga mungkin diacu sebagai sumber gagasan oleh yang membutuhkannya. Ketika melakukan alih wahana dari papan catur ke Realpolitik, siapa pun dia akan menjadi pelaku politik.
Dalam lakon "Polri versus KPK", terlepas dari opini publik yang cenderung memberatkan, pihak Polri ternyata mampu mengambil langkah-langkah taktis dalam percaturan politik, yang tampaknya asing bagi polisi tapi dalam kenyataannya kini berada dalam posisi terbaik. Ketika gebrakan terhadap KPK berlangsung secara bertubi-tubi, bukan saja kekuasaan Presiden tiada berdaya menengahi, tapi juga simpatisan KPK, yang notabene "rakyat Indonesia", seperti kehabisan jurus. Mungkinkah diam-diam terdapat ahli strategi berkelas Grand Master di antara para polisi?