Heri Priyatmoko, Alumnus Pascasarjana Sejarah, FIB, UGM
Di Keraton Yogyakarta, muncul "matahari kembar". Gusti Bendoro Pangeran Haryo Prabukusumo, adik tiri Sultan Hamengku Buwono X, dikukuhkan oleh Paguyuban Trah Ki Ageng Giring-Ki Ageng Pemanahan sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono XI. Menurut Prabukusumo, yang diangkat di petilasan Keraton Ambarketawang Sleman, perubahan nama dan gelar Sultan itu bertentangan dengan paugeran (Tempo.co, 12/7).
Agar terang, kita perlu menelaah gelar Buwana yang diganti menjadi Bawono. Semua gelar yang disandang para raja penerus wangsa Mataram Islam sesungguhnya mengacu pada konsep "ruang". Teladannya, Paku Buwana, Hamengku Buwana, Paku Alam, Mangkunegara, Mangkubumi, dan Amangkurat.
Zoetmulder dalam Kamus Jawa Kuna (2011) menguliti istilah "Bhuwana", artinya dunia atau bumi, sementara terminologi "Bawono" mengandung arti rumah besar atau tempat tinggal. Tafsirnya ialah bhuwana memuat kehidupan manusia dan jin pariyangan. Sedangkan bawono yang disandang Sultan kini mencakup dunia riil yang hanya ditinggali makhluk hidup.
Kesadaran masyarakat Jawa klasik tentang ruang memang amat tinggi. Merujuk uraian Indonesianis terkemuka Ben Anderson (1972), orang Jawa tidak melihat negaranya dalam pengertian batas-batas yang mengelilinginya, melainkan dari pusat yang memiliki kapasitas meluas ke mana saja. Batas geografis tidak dipandang sebagai periferi suatu negara, melainkan tempat tinggal kekuatan yang tak tampak. Kekuatan gaib menjadi unsur penyokong raja dalam mewujudkan harmoni antara jagat cilik (mikrokosmos) dan jagat gedhe (makrokosmos).
Pusat sebuah jagat atau rat (istilah Jawa asli) adalah konsep yang berdasarkan peristiwa di mana kekuatan-kekuatan kosmik dipercaya hadir dalam dunia nyata (dunya). Dibutuhkan raja yang menjadi sesembahan para manusia dan bangsa lelembut. Kerajaan Mataram baru ini sejak dulu memelihara mitos Ratu Kidul dan eyang Sapu Jagad sebagai penunggu Gunung Merapi. Demi menghormati lelembut, pihak kerajaan acap menggelar upacara larungan. Di sinilah, raja bertugas meladeni, ngemong, dan memangku. Ia tak hanya ngereh (memerintah) bila ingin melahirkan ketenteraman antara jagat cilik dan jagat gedhe.
Bertolak dari penjelasan di muka, nama Hamengku Buwono menegaskan simbol dan kewenangan raja yang bertugas melayani dunia. Sebetulnya ada tiga makna penting dari Hamengku, Hamangku, dan Hamengkoni. Pertama, Hamengku menunjukkan tugas melindungi sesama tanpa memandang kedudukan sosial, termasuk mereka yang tak menyukainya. Kedua, Hamangku menandakan sifat kepemimpinan yang mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingannya sendiri, dengan lebih banyak memberi ketimbang menerima. Ketiga, Hamengkoni berarti penggunaan kekuatan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat di jalan Allah.
Sebagai raja, Sultan tentu memahami tipe ideal orang (Jawa). Bahwa manusia kudu sadar akan tujuan hidup, sangkan paraning dumadi (kesatuan manusia dengan Tuhan) dan lincah membangun harmoni masyarakat untuk mencapai kebahagiaan bersama, manunggaling kawula gusti (kesatuan raja dengan rakyat). Inilah mutiara Jawa yang tak boleh diremehkan oleh keturunan dinasti Mataram Islam. Selain ngemong, Sultan sebaiknya mendengarkan suara dan kegelisahan rakyat. Raja tanpa kawula bukanlah siapa-siapa.