Ruang sidang Pengadilan Negeri Palembang menghasilkan putusan yang aneh dan menggelikan. Majelis hakim yang dipimpin Parlas Nababan menolak gugatan perdata pemerintah atas PT Bumi Mekar Hijau, yang diduga bertanggung jawab atas kebakaran hutan. Alasannya, penggugat tak bisa membuktikan adanya kerugian negara.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengajukan gugatan atas Bumi Mekar pada Februari 2015. Lahan konsensi hutan tanaman industri pohon akasia seluas 20 hektare yang dikelola perusahaan itu di Distrik Simpang Tiga Sakti dan Distrik Sungai Byuku, Kabupaten Ogan Komering Ilir, terbakar pada 2014. Kementerian menilai kebakaran itu merusak lingkungan dan mengganggu kesehatan masyarakat. Pemerintah menuntut ganti rugi Rp 2,6 triliun dan meminta tindakan pemulihan lingkungan dengan biaya Rp 5,2 triliun.
Lelucon muncul dalam pertimbangan hukumnya. Majelis hakim pimpinan Parlas Nababan menganggap kerugian negara dalam kebakaran itu tidak bisa dibuktikan. Sebab, lahan yang terbakar masih bisa ditanami dan ditumbuhi akasia. Logika hukum yang menggelikan dan bisa dimasukkan ke kategori sesat: sebuah kejahatan tidak dianggap sebagai pelanggaran hukum jika akibatnya bisa dipulihkan.
Argumentasi hakim Parlas itu mengabaikan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal itu mengatur bahwa pemegang hak atau izin konsesi bertanggung jawab atas kebakaran hutan di area kerjanya. Undang-undang yang samaplus Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Perusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidupmenegaskan kewajiban melindungi hutan dalam area kerja melekat pada pemegang izin.
Penyebab kebakaran di wilayah konsesi, menurut undang-undang itu, tidak memerlukan pembuktian. Prinsip ini ditetapkan karena usaha kehutanan dapat menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Kebakaran juga membuat kesehatan masyarakat di sekitarnya terganggu, yang membuat anggaran negara untuk penanggulangannya meningkat.
Jika itu semua diabaikan dan kebakaran hutan tidak dianggap sebagai kerugian negara, tak salah jika muncul kecurigaan ada permainan para hakim. Tujuannya, memenangkan Bumi Mekar Hijau, perusahaan yang selama ini memasok kayu untuk perusahaan bubur kertas PT Asia Pulp and Paper.
Dengan berbagai kejanggalan putusan tersebut, pemerintah sepatutnya mengajukan banding. Pengadilan di atasnya seharusnya mengoreksi putusan hakim Parlas. Prinsip-prinsip mendasar tentang lingkungan sebaiknya dipahami para hakim di Pengadilan Tinggi.
Komisi Yudisial juga perlu memeriksa putusan hakim Parlas Nababan dan para sejawatnya tersebut. Hal ini diperlukan guna menjernihkan motif di balik keluarnya "lelucon" dalam pertimbangan hukum itu: apakah murni karena pemahaman majelis hakim yang keliru ataukah ada hal lain seperti suap.
Tanpa koreksi atas putusan hakim Parlas Nababan, dagelan hukum bisa saja terus berkembang. Misalnya, pemukulan hakim tidak dianggap sebagai kejahatan karena dokter bisa menyembuhkan memarnya.