Pemerintah sebaiknya bekerja sama secara serius dengan negara-negara di Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN buat menghadang terorisme. Selama ini memang sudah ada kesepakatan dan kerja sama, termasuk Konvensi Anti-Terorisme yang ditandatangani delapan tahun lalu. Tapi Indonesia perlu berinisiatif untuk mengefektifkan kerja sama itu.
Jika tak ada yang menggerakkan, kesepakatan hanya akan berhenti di atas meja atau di ruang pelatihan bersama. Buktinya, kerja sama untuk berbagi informasi dan data mengenai terorisme, misalnya, selama ini belum berjalan lancar. Tak semua negara anggota mau menyerahkan data. Sering kali kesibukan berbagi informasi baru dilakukan setelah insiden terjadi, seperti pasca-serangan teroris pekan lalu di Jakarta.
Banyak alasan kenapa penanganan teroris perlu dilakukan bersama-sama. Salah satunya adalah perkembangan pesat kelompok radikal. Jaringan Negara Islam di Irak dan Al-Syam (ISIS)belakangan mengubah nama menjadi Negara Islamsudah merambah ke negara-negara anggota ASEAN. Bahkan mereka telah mendeklarasikan "cabang" di setidaknya satu negara di Asia pada tahun ini. Menurut pengamat terorisme Singapura, Rohan Gunaratna, negara yang kemungkinan besar dipilih adalah Filipina atau Indonesia.
Di kedua negara ini, sudah ada kelompok yang berbaiat ke kepemimpinan ISIS. Kelompok ini telah menjadi ancaman serius di kawasan ASEAN. Peta radikalisme pun berubah. Kini bukan lagi "alumnus" Afganistan yang tergabung dalam Jamaah Islamiyah yang berbaiat ke Al-Qaidah yang perlu diwaspadai, melainkan "alumnus" Suriah dan Irak, dengan para simpatisan ISIS.
Data dari konsultan keamanan Amerika, The Soufan Group, jumlah orang dari Asia Tenggara yang bergabung dengan ISIS di Suriah dan Irak naik sekitar 10 kali lipat, yakni dari 50-100 orang pada 2014 menjadi sekitar 900 orang. Jumlah terbesar dari Indonesia sebanyak 700-an orang. Menyusul Malaysia dan Filipina masing-masing sekitar 100 orang.
Ancaman terorisme menjadi semakin besar setelah berlaku Masyarakat Ekonomi ASEAN pada akhir tahun lalu. Ini berarti perbatasan antar-negara anggota kian terbuka. Kelompok pendukung terorisme pun akan lebih leluasa untuk keluar-masuk negara-negara ASEAN. Bukan tidak mungkin pula teroris muncul di negara-negara yang selama ini belum pernah terjamah oleh kelompok radikal. Dan bila hal ini terjadi, tak hanya menimbulkan masalah keamanan, ekonomi kawasan pun menjadi taruhan.
Bukan hanya kerja sama berbagi informasi dan perburuan pelaku teror yang perlu dilakukan. Masing-masing negara semestinya pula memperkuat program deradikalisasi dan pemantauan mantan narapidana terorisme, terutama para alumnus Suriah atau Irak, juga kelompok simpatisan ISIS. Kerja sama intelijen dan keimigrasian pun perlu ditingkatkan. Jangan biarkan ASEAN menjadi ladang subur bagi kelompok berbahaya ini.