Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Waiak

Oleh

image-gnews
Iklan

Bayi yang kemudian jadi Buddha itu lahir ketika sang ibu memegangi sebatang dahan pohon Sal di Kebun Lumbini.

Adakah ini lambang pertautan antara bayi yang suci itu dengan kehidupan yang bersambung ke ranting dan daundari mana oksigen menyebar dan di mana burung pengembara menemukan tempat jeda?

Saya tak tahu. Orang besar yang lahir lebih dari 2.500 tahun yang lalu akan selalu tumbuh dengan legenda, dan tiap legenda punya pertanyaan yang tak pernah putus. Tapi beberapa "data" dari kehidupan Buddha agaknya bisa jadi bahan percakapansetidaknya antara saya, yang bukan Buddhis, dan para pembaca, yang mungkin di antaranya Buddhis.

Sang Buddha, seperti kita tahu, lahir sebagai Pangeran Siddharta. Ayahnya, Suddhodhana, adalah Raja Kapilavastu, wilayah di kaki Himalaya. Keluarga ini bagian dari klan Gautama, yang termasuk wangsa Shakya. Dari kitab Jataka kita dapat sedikit cerita tentang kehidupan para aristokrat itu.

Siddharta hidup di tiga istana, terlindung dari dunia luar yang tak secantik dan setenteram Keraton Kapilavastu. Ada 40.000 penari untuk menghiburnya. Ketika ia dewasa, 5.000 wanita dikirim ke hadapannya untuk dipilih. Dan Siddharta pun menikah. Ia jadi ayah yang hidup mewah dan nyaman.

Tapi kemudian ada kisah yang termasyhur itu: dalam sebuah perjalanan di luar istana, sang pangeran melihat dunia yang selama ini tertutup dari dirinya: seorang tua, seorang yang sakit, dan seorang yang mati. Siddharta terkejut, ia tersadar: ternyata manusia, juga dirinya, akan jadi tua, bisa sakit, dan akan meninggal. "Semua ke riangan masa mudaku tiba-tiba raib," tutur sang pa ngeran kemudian. Sejak itu ia pun mencari jawab tentang kodrat "usia tua, sakit, kesedihan, dan ketakmurnian"keadaan yang tak akan bisa dielakkan siapa pun yang lahir di dunia. Ia pun merasa perlu "menemukan yang tak dilahirkan". Dan itu adalah "puncak kedamaian Nirwana".

Cerita itu begitu terkenal hingga kita lupa untuk bertanya: pada saat itu, di manakah agama yang bisa menjawab kegelisahan Siddharta?

Mungkin tak ada. Di bawah Pegunungan Himalaya, sekitar 400 tahun Sebelum Masehi, tampaknya orang tak mendengarkan kitab suci lagi. Upanishad digugat, para pendeta dicemooh.

Dalam salah satu jilid The Story of Civilization, Will Durant mengutip Chandogya Upanishad, yang menyamakan para Brahmana ortodoks dengan barisan anjing: masing-masing memegang ekor anjing sebelumnya. Swasanved Upanishad bahkan menyatakan tak ada tuhan (dewa), tak ada surga, neraka, dan reinkarnasi. Kitab-kitab Veda dianggap cuma karangan orang-orang geblek yang congkak; khalayak ramai patuh karena dibuai kata yang berbunga-bunga untuk menopang dewa, kuil, dan orang "suci".

Saat itu, para penghujat dewa dan pendeta beredar di mana-mana: para Nastik, kaum nihilis, para Sangaya. Satu kelompok besar Paribhajaka ("Pengembara") berjalan dari kota ke kota, dusun ke dusun, mencari murid atau lawan filsafat. Mereka mengajarkan logika sebagai kiat membuktikan pendapat, atau menunjukkan bahwa Tuhan tak pernah ada. Di samping mereka, ada kaum Charvaka, atau kaum "materialis", yang menertawakan kepercayaan bahwa Veda itu ilham para dewa. Bagi me reka, yang bisa diyakini ada hanya yang dapat diketahui lewat pancaindra. Materi adalah satu-satunya. Realitas. Tak ada keabadian. Tak ada kelahiran kembali. Tujuan hidup adalah hidup itu sendiri. Agama hanya pengisi rasa kekosongan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mereka inilah yang pelan-pelan menguras sudut-sudut India dari pengaruh kitab-kitab suci. Sekaligus melumpuhkan pengaruh kasta Brahmana di masyarakat. Dari sini pula tumbuh keyakinan baru, dimulai oleh kasta lain, para kesatria, yang tak bersandar pada struktur kependetaan dengan teologi yang berpusat pada adanya Yang Maha Pencipta. Bagi keyakinan baru ini, ada atau tak adanya Tuhan bukan persoalan penting.

Ketika Siddharta berangkat dewasa, suasana pasca-Veda itulah yang berkembang. Tak mengherankan bila ia tak mengandalkan kitab apa pun untuk menjawab ke gundahannya. Dan tak mengherankan pula bahwa ketika ia mendapat "pencerahan" dan jadi Buddha, ajarannya bergema cepat.

Para pengikut datang mungkin juga karena Sang Buddha bisa menunjukkan jalan bagi sebuah masyarakat di mana samsara bukan saja sebuah konsep filsafat. Ke sadaran tentang itu bertolak dari hidup sehari-hari. Di India, apalagi pada masa itu, lahir, sakit, tua, dan mati bukanlah peristiwa asing di jalan-jalan.

Tapi itu bukanlah akhir cerita. Buddhisme bukan seluruhnya sebuah negasi agung. Sang Guru mengumandang kan sesuatu yang mampu melampaui tema kesedihan pasca-kelahiran itu: dalam ajarannya tak ada patah-arang yang radikal terhadap hidup. Buddha tak menganjurkan sikap asketis yang ekstrem; ia menolak bunuh diri sebagai pilihan.

Dalam arti tertentu, ia masih melihat hidup mengan dung harapanjustru ketika manusia bebas dari pengharapan.

Saya bukan seorang Buddhis. Bagi saya harapan yang tanpa pengharapan itu terletak dalam kemungkinan kita menerima dunia dan segala isinyayang menderitasebagai apa yang dalam bahasa Jawa disebut bebrayan, "pertalian kebersamaan". Ketika kita menghayati hidup sebagai keadaan yang bisa sakit, tua, dan mati, kita pun akan lebih peka terhadap rapuh dan rentannya siapa saja yang ada dalam keadaan itu. Semacam perasaan senasib tumbuh.

Dengan kata lain, nasib bukanlah "kesunyian masing-masing" seperti dikatakan Chairil Anwar. Hidup meletakkan masing-masing sebagai bagian dari sebuah keseluruhanseperti akar, kulit, dahan, ranting, dan daun pohon Sal. Bahkan pohon itu juga bagian dari perjalanan burung-burung dan peserta dalam lingkungan ke mana selalu ia embuskan oksigen pada hari terik. Untuk siapa saja.

Harapan, dengan kata lain, ialah karena kita tak bersendiri.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Deretan Komentar Mengenai Kabinet Prabowo-Gibran

5 menit lalu

Deretan Komentar Mengenai Kabinet Prabowo-Gibran

Wakil Ketua Umum Golkar Ahmad Doli Kurnia berharap partai berlambang beringin ini mendapat tempat dalam kabinet Prabowo-Gibran


Klasemen Liga Spanyol: Kalahkan Sociedad 1-0, Kapan Real Madrid Juara?

6 menit lalu

Pemain Real Madrid melakukan selebrasi. REUTERS/Juan Medina
Klasemen Liga Spanyol: Kalahkan Sociedad 1-0, Kapan Real Madrid Juara?

Real Madrid kian kokoh di puncak klasemen Liga Spanyol setelah mengalahkan Real Sociedad 1-0 pada pekan ke-33. Simak skenario juara dan klasemennya.


Jakarta Peringkat 10 Kota dengan Udara Terburuk pada Sabtu Pagi

7 menit lalu

Foto aerial kondisi polusi udara di kawasan Pelabuhan Muara Angke, Jakarta Utara, Rabu, 13 Desember 2023. Berdasarkan data situs pemantau kualitas udara IQAir pada Rabu, konsentrasi polutan particulate matter 2.5 (PM2,5) di Jakarta sebesar 41 mikrogram per meter kubik dan berada di kategori tidak sehat bagi kelompok sensitif karena polusi. ANTARA/Iggoy el Fitra
Jakarta Peringkat 10 Kota dengan Udara Terburuk pada Sabtu Pagi

Pada Sabtu pagi pukul 07.02 WIB Indeks Kualitas Udara (AQI) di Jakarta berada di angka 122 atau masuk dalam kategori tidak sehat.


Seo Ye Ji Buka Akun Instagram, Penggemar Tidak Sabar Melihat Aktingnya Lagi

12 menit lalu

Seo Ye Ji. Instagram.com/@yeyeji_seo
Seo Ye Ji Buka Akun Instagram, Penggemar Tidak Sabar Melihat Aktingnya Lagi

Ada tiga foto yang dibagikan Seo Ye Ji dalam akun Instagram barunya


Tikus Sering Menjadi Hewan Percobaan, Ternyata Ini Alasannya

16 menit lalu

Ilustrasi tikus. mirror.co.uk
Tikus Sering Menjadi Hewan Percobaan, Ternyata Ini Alasannya

Biasanya, ketika melakukan penelitian dalam dunia medis, peneliti kerap menggunakan tikus. Lantas, mengapa tikus kerap menjadi hewan percobaan?


BMKG: Mayoritas Wilayah Indonesia Berpotensi Hujan Lebat Disertai Petir dan Angin Kencang

19 menit lalu

Ilustrasi hujan petir. skymetweather.com
BMKG: Mayoritas Wilayah Indonesia Berpotensi Hujan Lebat Disertai Petir dan Angin Kencang

Potensi hujan sedang hingga hujan lebat disertai petir dan angin kencang dipengaruhi oleh Madden Julian Oscillation.


Kereta Cepat Jakarta-Surabaya, Kisah Komikus Jepang Sindir Indonesia Lebih Pilih Cina 6 Tahun Lalu

19 menit lalu

Rute Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Bakal Diubah
Kereta Cepat Jakarta-Surabaya, Kisah Komikus Jepang Sindir Indonesia Lebih Pilih Cina 6 Tahun Lalu

Jauh sebelum wacana kereta cepat Jakarta-Surabaya, ada komikus yang pernah sindir Indonesia lebih pilih Cina dari pada Jepang.


Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewan Pengawas KPK Albertina Ho, Ini Tugas Dewas KPK

27 menit lalu

Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK), Albertina Ho, dan Ketua Dewas KPK, Tumpak Panggabean, membacakan putusan tiga terperiksa kasus pungli rutan KPK atas nama Ristanta, Sofian Hadi, dan Achmad Fauzi di Gedung Dewas KPK, Jakarta Selatan, Rabu, 27 Maret 2024. Ketiga terperiksa mangkir dari persidangan dengan alasan sakit. TEMPO/Han Revanda Putra.
Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewan Pengawas KPK Albertina Ho, Ini Tugas Dewas KPK

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron melaporkan anggota Dewas KPK Albertina Ho. Berikut tugas dan fungsi Dewas KPK


23 Individu Dapat Penghargaan Hassan Wirajuda Pelindungan WNI Award

28 menit lalu

Kantor Kementerian Luar Negeri RI di Jln. Pejambon, Jakarta. Sumber: Suci Sekar/Tempo
23 Individu Dapat Penghargaan Hassan Wirajuda Pelindungan WNI Award

Sebanyak 23 individu mendapat Hassan Wirajuda Pelindungan WNI Award karena telah berjasa dalam upaya pelindungan WNI


Upaya Kemenkes Atasi Banyaknya Warga Indonesia yang Pilih Berobat ke Luar Negeri

34 menit lalu

Ilustrasi - Ventilator rumah sakit. (ANTARA/Shutterstock/am)
Upaya Kemenkes Atasi Banyaknya Warga Indonesia yang Pilih Berobat ke Luar Negeri

Ada sejumlah persoalan yang membuat banyak warga Indonesia lebih memilih berobat ke luar negeri.