Putu Setia
Kenapa Anda tertarik masuk partai politik? Pertanyaan ini saya ajukan kepada seorang aktivis yang selama ini terkesan antipartai. Capek demo, tak ada perubahan. Padahal saya terpanggil memperbaiki negeri ini, katanya.
Saya mulai nakal: Apakah bukan karena makelar demo mulai berkurang dan tahu uang yang dihamburkan tak berdampak besar? Sang aktivis tertawa. Ada benarnya. Tapi saya betul-betul ingin memperjuangkan rakyat, katanya.
Jawaban yang klise. Memang hanya anggota partai yang bisa menjadi wakil rakyat, tetapi memperjuangkan rakyat banyak jalannya.
Andaikan pertanyaan kenapa masuk partai politik ditujukan kepada Ulil Abshar Abdalla dan Andi Nurpati, apa ya jawabannya? Saya tak berani menanyakan langsung, saya takut jawabannya juga klise. Kalaupun mereka menjawab jujur, saya mungkin sulit percaya karena saya sebenarnya hanya ingin mendengar mereka berkata: Ya, masuk partai itu untuk kekuasaan, minimal menjadi wakil rakyat. Jika nasib lebih baik, jadi menteri.
Kalau tidak mengejar jabatan, untuk apa Andi Nurpati bergabung ke Partai Demokrat? Dia meninggalkan gaji yang lumayan di Komisi Pemilihan Umum, juga fasilitas yang cukup menggiurkan, selain meninggalkan nama buruk karena melecehkan undang-undang yang seharusnya tak membolehkan dia meninggalkan KPU. Padahal menjadi pengurus partai, menurut Anas Urbaningrum, tidak digaji.
Dalam memilih sesuatu, apalagi memilih jalan hidup, orang tentu berhitung. Contoh berikut ini tidak menyangkut Andi Nurpati, apalagi Ulil yang berpenampilan tenang itu. Ini tentang pengusaha yang duitnya berlebih, tiba-tiba ingin mencalonkan diri jadi bupati. Ia pun masuk partai, berhasil menjadi calon setelah mengeluarkan beberapa miliar rupiah, tapi gagal menjadi bupati setelah mengeluarkan bermiliar-miliar. Namun, ia yakin, dukungannya cukup memadai. Karena itu, ia tetap menjadi orang partai, bahkan berhasil menjadi pengurus partai di daerah. Empat tahun lagi saya minimal jadi anggota DPR. Tapi, kalau memungkinkan, ingin jadi bupati, raja kecil tapi kan tetap raja, katanya.
Terpancing atau tidak oleh pertanyaan, dia menyebutkan investasi yang ditanam pasti akan kembali. Maklum, pengusaha. Saya tentu tak bertanya dari mana baliknya modal itu. Orang-orang sudah maklum, berapa gaji wakil rakyat--yang resmi bisa diakses lewat Internet, yang tak resmi sulit diduga. Begitu banyak sumber yang menghasilkan duit.
Citra wakil rakyat saat ini memang kemaruk--istilah orang desa yang berarti tamak. Mata duitan, kata anak remaja tempo dulu. Kalau anak sekarang menyebutnya matere amat. Semua langkah dan omongan wakil rakyat ujung-ujungnya adalah duit, sementara tugasnya sebagai pembuat undang-undang ujungnya amburadul. DPR masa kerja 2009-2014 yang riuh-gemuruh ini, apakah sudah menghasilkan undang-undang dari sekian banyak target yang dibebankan? Undang-undang macam apa yang dihasilkan oleh DPR sebelumnya? Ya, semacam Undang-Undang tentang Pornografi yang sangat dipaksakan itu, ujungnya sekarang dirasakan dalam kasus video porno: ada penjelasan yang nyelonong, sementara pasalnya sudah tak ada. Atau undang-undang menyangkut keanggotaan KPU, ada larangan tegas soal pengunduran diri, tapi tak ada sanksinya. Yang saya bayangkan, ketika membahas undang-undang, anggota Dewan mengantuk. Ketika membahas anggaran menyangkut dirinya--termasuk dana aspirasi, misalnyamereka bersemangat.
Pantas saja jabatan itu jadi rebutan--dimulai dengan masuk partai--dengan dalih: memperbaiki negeri. Masih ada yang percaya?