Putu Setia
Kalau kita punya pikiran yang bersih dan mau melihat kenyataan dengan benar, masalah penyederhanaan rupiah atau redenominasi adalah ide yang bagus, masuk akal, dan tak ada yang perlu ditakuti. Masalahnya adalah banyak orang berpikir kotor karena dikuasai oleh nafsu berkuasa, lalu saling menjatuhkan. Apa pun gagasan yang datang dari pemerintah pasti dianggap buruk, lalu dibawa-bawalah nama rakyat. Disebut bahwa ide redenominasi hanya membodohi rakyat.
Apa rakyat itu bodoh? Di pedesaan Bali, sudah umum orang membuang kata "ribu", dan tak ada yang salah paham bertransaksi. Pecel lele yang harganya Rp 12 ribu dalam percakapan tak pernah disebut "ribu"-nya, cukup "dua belas rupiah" atau "dua belas perak"--yang belakangan ini tergolong ucapan gaul. Tak ada orang yang membayar benar-benar Rp 12, lagi pula di mana mencari uang jenis itu kalau uang logam terkecil saja bernilai Rp 100.
Di Nganjuk, Sragen, Karanganyar kata "ribu" pun banyak yang lenyap. Naiklah ojek di Nganjuk, tanya ongkosnya, si tukang ojek bilang: "Jauh lo, Mas, sepuluh rupiah saja." Begitu juga kalau beli kambing di Karangpandan dekat lokasi wisata Tawangmangu. "Pak Haji, masak kambing kurus begini delapan ratus?" Tak ada yang bingung delapan ratus itu rupiah, ribu, juta, atau miliar.
Kalau kita melihat hasil pekerjaan rakyat yang lebih makmur, sebutlah para akuntan atau pengelola bank dalam membuat neraca, deretan nolnya tak banyak, masih bisa masuk di layar kalkulator. Namun di atas neraca ada tulisan: "dalam ribuan rupiah". Artinya, rakyat yang berdasi ini juga sudah mulai "melenyapkan kata ribu" secara terselubung.
Belum lagi soal dompet. Orang desa kalau membeli mesin cuci--lagi musim panen kopi saat ini banyak orang desa yang kaya--dompetnya paling tidak ada 20 lembar uang rupiah nilai tertinggi. Kalau membawa dolar, misalnya, hanya perlu tiga lembar, masih ada kembaliannya. Nah, kalau ide redenominasi dilaksanakan, dan katakan uang rupiah tertinggi di bilangan Rp 1.000, "gengsi" rupiah tak jauh amat dengan dolar. Saat ini nilai dolar terhadap rupiah 1 banding 9.000 (dibulatkan), jatuh benar gengsi rupiah, betul kayak sampah.
Seorang pengamat ekonomi--saya kira beliau itu politikus--menyebutkan penyederhanaan itu hanya pembodohan, karena sami mawon (sama saja). Ya, memang betul sami mawon. Kalau pikiran ini dilanjutkan, perubahan nilai dinaikkan juga sami mawon. Misalnya, Rp 1 dijadikan Rp 1.000. Sejuta menjadi semiliar. Pecel lele seharga Rp 12.000 menjadi Rp 12.000.000. Sami mawon juga, itu kan hanya "kesepakatan menyebut". Tapi apa itu penyederhanaan? Padahal sederhana itu adalah perbuatan mulia.
Sepanjang pemerintah bisa meyakinkan bahwa redenominasi bukan sanering--dan itu memang harus disosialisasi dengan baik--tak ada hantu yang mesti ditakuti. Sosialisasi sepuluh tahun juga terlalu panjang, separuhnya bisa dipangkas. Asalkan ada hal memikat yang membuat rakyat bergairah menyambut "perubahan" ini. Misalnya uang baru desainnya menarik. Orang senang memegang apa-apa yang baru, termasuk uang. Pecahannya beragam. Uang kertas terendah tentu saja Rp 1. Uang logam menjadi 50 sen. Enak benar mendengar kembali kata "sen". Ada barang yang bisa dibeli dengan 50 sen, yaitu permen. Meski tak banyak barang seharga sen-senan, uang logam penting untuk pelajaran menabung buat anak-cucu kita.
Redenominasi penting dan yang jauh lebih penting adalah cara berpikir sederhana, yang baik katakan baik, jangan dibalut prasangka, curiga, atau semua hal dipolitisasi.