Bagong Suyanto, Dosen Program Pascasarjana FISIP Universitas Airlangga
Kecenderungan arus balik pasca-Lebaran sesungguhnya adalah proses alamiah yang tidak terhindarkan terjadi ketika kesenjangan antarwilayah makin terpolarisasi, sementara di saat yang sama infrastruktur transportasi makin mudah, dan penduduk desa tidak lagi memiliki pilihan alternatif untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Bagi kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya, sudah lazim terjadi setiap kali Lebaran berakhir, maka kaum migran yang mengadu nasib ke kota besar biasanya tidak hanya kembali sendirian, tapi juga selalu mengajak sanak saudara atau tetangganya untuk ikut mencari nafkah bersama mereka.
Di kalangan kaum migran, kekenyalan dan daya tahan mereka untuk bertahan hidup di kota besar yang keras tumbuh karena di antara mereka berkembang apa yang disebut Hans-Dieter Evers (2002) sebagai kohesi sosial. Seberapa pun banyaknya penambahan jumlah kaum migran di kota besar, itu semua tidak akan menjadi masalah bagi kaum migran itu sendiri, karena dua alasan.
Pertama, karena sektor informal yang mereka tekuni umumnya memiliki kemampuan involutif yang luar biasa untuk menyerap setiap tambahan angkatan kerja. Kedua, karena makin banyak kaum migran yang masuk ke kota besar, berarti makin kuat dan kokoh jaringan sosial yang bisa dikembangkan sebagai penyangga kelangsungan hidup kaum migran itu dalam menghadapi tantangan dan tekanan.
Studi yang dilakukan penulis menemukan, paling tidak ada tiga alasan utama penyebab penduduk pedesaan nekat mengadu nasib mencari pekerjaan di kota besar pasca-Lebaran. Pertama, karena kesempatan kerja yang tersedia di desa makin hari kian langka (54,5 persen), sedangkan usaha-usaha yang ditekuni sebelumnya keburu collapse.
Kedua, karena adanya selisih upah antara desa dan kota besar yang cukup mencolok sehingga, meskipun di desa ada beberapa pekerjaan yang bisa dimasuki, karena upahnya sangat rendah (25,5 persen), hasilnya pun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka.
Ketiga, di luar faktor ekonomi, alasan yang cukup dominan mendorong penduduk desa mengadu nasib ke kota besar adalah masalah keluarga atau sesuatu yang sifatnya personal, seperti menghindari pernikahan dini bagi anak perempuan (3,8 persen) atau merasa malu tetap tinggal di desa dan tidak memiliki pekerjaan yang dapat diandalkan (11 persen).
Terjadinya arus balik yang luar biasa pasca-Lebaran sebetulnya tidak menjadi masalah sepanjang pemerintah kota mampu menciptakan lapangan pekerjaan dan fasilitas publik yang cukup. Tetapi lain soal ketika arus urbanisasi yang terjadi sudah kelewat batas dan perkembangan sektor informal serta jumlah migran mulai mengganggu ketertiban dan menempati zona-zona publik yang melanggar ketentuan.
Urbanisasi yang berlebih, bagaimanapun, harus dikendalikan agar tidak berkembang makin liar dan membebani kota besar. Meski demikian, untuk mengeliminasi arus urbanisasi berlebih, tentu tidak bisa hanya dengan mengembangkan pendekatan "pintu tertutup" dan membatasi arus migrasi secara sepihak—tanpa diimbangi dengan upaya-upaya untuk menciptakan kesempatan kerja dan mengurangi kesenjangan desa-kota yang benar-benar efektif.