Reza Indragiri Amriel, Penulis Buku Ajari Ayah, Ya Nak
Kematian Angeline, putri cantik berusia 6 tahun korban pembunuhan di Bali, sangat menyedihkan. Tapi itu "tak terlalu jadi soal" karena semua yang bernyawa niscaya meninggalkan dunia fana. Yang menggerus perasaan adalah bagaimana anak tanpa dosa itu harus menyongsong kematian dengan setimbun penderitaan lahir-batin. Ia disebut-sebut ditelantarkan, juga disakiti, dengan meninggalkan sekian banyak cedera. Itu baru yang tampak di mata. Belum termasuk luka di hati yang sakitnya hanya bisa dirasa dengan hati juga.
Empat orang aku tanyai. Bukan tentang tewasnya Angeline, melainkan ihwal mengapa penderitaan sedemikian sakit harus Tuhan berikan kepada Angeline. Satu orang angkat tangan. Tiga lainnya memberikan berbagai variasi jawaban atas pertanyaanku tadi. Esensinya tetap sama: sebagaimana firman Tuhan bahwa anak bisa menjadi cobaan bagi orang tua. Dan, mengacu itu, wafatnya Angeline pun mengandung unsur ujian bagi kita.
Apa pun itu, tetap sulit dicerna nalar mengapa cobaan bagi kita itu—sekali lagi—dikemas dalam bentuk anak yang terpaksa menggelepar kesakitan, anak yang tidak bisa menikmati masa kanak-kanaknya, serta anak yang kehilangan nyawanya. Si penerima cobaan akan naik derajatnya jika ia berhasil melalui ujian. Kenikmatan adanya. Namun apa manfaatnya bagi Angeline?
Benar, Angeline—sebagai insan tanpa cela—niscaya masuk surga. Tapi betapa "rendahnya" Angeline karena ia seolah dijadikan alat uji yang ditimpa pedih dan perih demi terbangunnya pembeda antara hamba sejati Ilahi dan hamba yang ingkar kepada-Nya. Dan Angeline tidak bisa mengelak dari suratan tangannya itu. Kutepis sejauh-jauhnya bisikan jahat, "Tuhan tidak adil."
Di atas sajadah, kubaca Al-Fatihah untuk Angeline. Itu kali kedua kulakukan—yang pertama adalah pada pagi hari, bertepatan dengan hari ditemukannya jenazah Angeline beberapa jam setelahnya. Kali ini, Fatihatul Kitab juga kutujukan untukku sendiri. Aku perlu melakukan itu. Agar aku tidak tergelincir dari jalan-Nya yang lurus. "Aku ingin jawaban, ya Allah, Zat Yang Maha Suci."
Sekejap itu pula, doa terjawab. Di teras, pucuk daun di pohon tinggi seberang rumah menghidupkan kembali kenangan akan kisah Nabi Khaidir. Sang Nabi, dengan kecerdasan yang tidak tertandingi makhluk lain, hanya membuat Nabi Musa melongo tak habis pikir ketika jiwa bersih seorang bocah dihabisi dengan tangannya sendiri. Jawaban diberikan Nabi Khaidir: futuristik, tetap misteri dalam nalar Nabi Musa. Dan, akibatnya, kepuasan tak juga terbit di ufuk kesadaranku.
Perbincangan via BlackBerry dengan ketiga orang tersebut kuakhiri. Lebih karena enggan mengusik jam sibuk mereka. Sembari menuruni tangga stasiun kereta Palmerah, kututup paksa kegagalanku berempati penuh kepada almarhumah Angeline. Batinku masih menggelepar gelisah, namun akal sehatku kadung menyerah. Pada tali iman, aku berserah. Allahu a'lam.