Agus M. Irkham, Pegiat Literasi
Bahasa bukan sekadar kode-kode yang disepakati dalam sebuah komunikasi, tapi lebih dari itu, menjadi representasi atas pemikiran, falsafah hidup, tendensi, serta kedirian tiap orang yang terlibat dalam komunikasi tersebut. Maka muncul istilah kolonialisasi wacana, yaitu proses penjajahan pemikiran, persepsi, dan simpulan atas sesuatu obyek melalui sarana bahasa (informasi dan pengetahuan).
Salah satu contoh bentuk kolonialisasi wacana tersebut adalah persepsi yang dibangun oleh Barat, terutama Amerika Serikat, yang notabene bukan "negeri Islam"-paling tidak dalam kurun 15 tahun terakhir ini-terhadap Islam secara tidak adil dan penuh sak wasangka. Atas nama demokrasi, Islam dikonstruksi sebagai agama intoleran, mengajarkan kekerasan dan teror. Lantas lahir istilah-istilah Islam radikal sampai fundamentalisme Islam.
Golongan Islam, tutur Emha Ainun Nadjib, mendapat jatah menjadi pihak yang dipelonco dan dites terus-menerus oleh subyektivitas Barat. Muslimin diwajibkan menjadi penganut demokrasi agar diakui oleh peradaban dunia. Dan untuk mempelajari demokrasi, mereka dilarang membaca kecurangan informasi jaringan media massa Barat atas kesunyatan Islam.
Kondisi tersebut tentu saja tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Harus segera dilakukan langkah-langkah koreksi yang signifikan. Dalam konteks mengoreksi kecurangan Barat atas konstruksi Islam itulah gagasan Islam Nusantara mewujud. Dan diperlukan endorser yang kuat untuk mengefektifkan gagasan itu. Nahdlatul Ulama secara kelembagaan mengambil inisiatif untuk menjadi penggerak utamanya.
Bahkan secara khusus, "Meneguhkan Islam Nusantara untuk peradaban Indonesia dan dunia", dijadikan tema utama dalam Muktamar NU ke-33 yang akan diselenggarakan di Jombang pada 1-5 Agustus nanti.
Dalam perspektif teknis syariat (mikro kosmis), secara artikulatif Ketua Umum PBNU KH Sa'id Aqil Siroj mengemukakan bahwa Islam Nusantara bukanlah agama baru, bukan juga aliran baru. Ini adalah pemikiran yang berlandaskan sejarah Islam yang masuk ke Indonesia tidak melalui peperangan, melainkan kompromi terhadap budaya. Islam Nusantara tidak membenarkan adanya sebuah tradisi yang bertentangan dengan syariat Islam.
Saya senang, NU secara kelembagaan berani tampil memberikan endorsment terhadap gagasan Islam Nusantara. Ini sekaligus menunjukkan adanya kontinuitas konsepsi dan gagasan yang sebelumnya telah lahir dari rahim NU sendiri, yaitu Islam etnisitas dan pribumisasi Islam. Menariknya, sekarang gagasan tersebut didukung pula oleh Muhammadiyah.
Islam Nusantara saya rasakan lebih genuine. Menjadi antitesis terhadap politik bahasa atas Islam yang diproduksi oleh Barat. Kontroversi terhadap gagasan tersebut terjadi karena dikacaukan oleh hal-hal yang bersifat mikro dan politis, sehingga tendensi yang bersifat makro tidak terlihat. Tendensi itu adalah menjadi antitesis terhadap konstruksi semena-mena Barat terhadap Islam.
Islam Nusantara adalah wujud kreativitas dan keberanian umat Islam Indonesia untuk mendefinisikan Islam itu sendiri. Sebab, definisi yang diberikan oleh Barat hanya sekadar alat melancarkan libodo kekuasaan politik dan ekonominya. Dan Islam-tidak hanya di Timur Tengah tapi di dunia-yang menjadi korbannya.*