Turunnya harga minyak dunia tidak boleh menyurutkan upaya pemerintah mencari sumber energi pengganti bahan bakar fosil. Rendahnya harga minyak memang membuat beragam program di bidang ini tampak tak masuk akal dalam kalkulasi ekonomi jangka pendek. Salah satu yang kini terancam tekor adalah program pemerintah yang mewajibkan pencampuran 20 persen biodiesel ke dalam solar, atau mandatory B20. Dengan harga minyak yang sepanjang Januari ini berkisar di angka US$ 30 per barel, produksi biodiesel berbahan dasar sawit (CPO) memang semakin tak kompetitif.
Dalam hitungan pemerintah dan produsen, biodiesel baru akan ekonomis jika harga minyak berada pada level US$ 50-100 per barel atau rata-rata US$ 70. Bila tren penurunan harga minyak berlangsung seperti prediksi Dana Moneter Internasional (IMF), yakni hingga di bawah US$ 20 per barel, bisa jadi tak akan ada lagi yang tertarik memproduksi dan membeli biodiesel.
Makin lebarnya selisih harga solar dan biodiesel juga berarti membengkaknya subsidi yang disediakan melalui Badan Pengelolaan Dana Perkebunan (BPDP). Tahun lalu, badan bentukan pemerintah ini menghimpun dana dari pungutan ekspor minyak sawit dan produk turunannya sebesar Rp 6,9 triliun. Target perolehan pada tahun ini naik menjadi Rp 9,5 triliun.
Dengan asumsi harga minyak mentah US$ 40 per barel dan harga CPO sekitar US$ 500 per metrik ton, uang Rp 9,5 triliun itu akan habis untuk menopang program B20. Persoalannya, patokan harga dan volume konsumsi yang digunakan pemerintah dan BPDP itu jauh meleset dari kenyataan hari ini. Padahal, setiap kali harga minyak dunia turun US$ 1 per barel, akan dibutuhkan subsidi tambahan Rp 350 miliar. Dan setiap kenaikan harga CPO US$ 1 per metrik ton, kebutuhan subsidi akan ikut naik sekitar Rp 38 miliar.
Gambaran itu menunjukkan bahwa semangat tak boleh dijadikan satu-satunya modal. Tujuan baik yang dijalankan dengan perhitungan kurang akurat justru akan merugikan publik.
Kita membutuhkan energi lebih hijau dan terbarukan demi kelangsungan hidup yang lebih baik di masa depan, bukan semata karena alasan ekonomi sesaat. Program B20, misalnya, diharapkan mampu mengurangi emisi sebesar 9,4 juta sampai 16 juta ton setara karbon dioksida (CO2e) per tahun.
Tapi bersembunyi di balik tujuan mulia itu, demi menutupi ketidakbecusan dalam merancang program, pun tak bisa diterima. Kita perlu mencari formula lebih kreatif agar jurang antara kepentingan jangka panjang bagi lingkungan hidup dan tuntutan ekonomi hari ini bisa dipersempit. Yang pasti, murahnya minyak bumi tak boleh membuat kita lupa diri dan mengkonsumsi minyak tanpa kendali.