Terbongkarnya sindikat penjualan ginjal di Bandung menerbitkan kegusaran sekaligus keprihatinan. Peristiwa itu menohok kita karena ternyata praktek tersebut sudah berlangsung sejak 2008 dan di luar pantauan radar Kementerian Kesehatan serta kepolisian. Kepolisian harus membongkar seluruh jaringan sindikat ini, termasuk menghukum pelakunya, dokter, dan rumah sakit yang terlibat.
Jual-beli organ manusia untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomi jelas merupakan tindak kejahatan. Hal tersebut jelas melanggar Pasal 33 ayat 2 Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992, yang menyebutkan bahwa transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh serta transfusi darah dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk tujuan komersial.
Kasus jual-beli ini mencuat setelah seorang tahanan di Polres Garut, Jawa Barat, mengeluh kesakitan di bagian perut. Ketika diperiksa, ternyata ditemukan ada bekas operasi ginjal di tubuhnya. Ia mengaku mendapat imbalan uang sekitar Rp 70 juta untuk melepas satu ginjalnya.
Dari penelusuran polisi, ternyata ada rumah sakit yang meminta disediakan donor ginjal melalui makelar. Sebenarnya, cara ini tak serta-merta masuk dalam ranah pidana. Terlebih apabila operasi dilakukan di rumah sakit yang memiliki izin Menteri Kesehatan dan ditangani dokter kompeten. Yang menjadi masalah, makelar ini menjadikan donor ginjal sebagai bisnis dan berlangsung lama.
Modus jual-beli organ manusia tak ubahnya seperti perdagangan manusia. Mereka mengincar donor berusia 20-30 tahun dan biasanya yang hidupnya susah. Korbannya ada yang bekerja sebagai sopir, petani, atau tukang ojek. Mereka mengiming-imingi calon donor dengan uang Rp 70 juta, sementara mereka meminta bayaran dari orang yang membutuhkan ginjal sebesar Rp 250-300 juta. Semestinya polisi bisa menjerat para pelakunya dengan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Ancamannya, kurungan penjara maksimal 15 tahun.
Sulit untuk tidak mengatakan bahwa pengelola rumah sakit ataupun dokter yang menangani transplantasi tak mengetahui praktek kotor ini. Karena itu, polisi jangan berhenti pada makelar donor ginjal, tapi juga harus menjerat rumah sakit atau dokter bila terindikasi terlibat. Pelanggaran semacam ini bukan lagi masuk ranah disiplin atau etika, melainkan sudah murni tindak kriminal.
Polisi tak perlu ragu membongkar kasus ini hingga tuntas meski rumah sakit yang diduga terlibat tergolong rumah sakit besar. Sejauh ini ada indikasi keterlibatan satu rumah sakit milik pemerintah serta dua swasta di Jakarta dan Bandung.
Kasus sindikat bisnis ginjal ini menjadi ujian bagi Kementerian Kesehatan dan kepolisian.
Memang tak mudah menyeret keluar semua pelaku. Namun, dengan menelusuri daftar donor dan rumah sakit yang terkait, semestinya kepolisian dan pemerintah bisa membongkar habis sindikat bisnis organ tubuh. Pengawasan yang lebih ketat terhadap rumah sakit juga harus dilakukan untuk mencegah praktek ini terulang.