Rencana mengumpulkan dan mengelola gratifikasi buat dokter merupakan gagasan menarik. Tapi upaya ini tak akan efektif memerangi suap dari perusahaan farmasi bila tidak diikuti penegakan hukum.
Pengumpulan dana dari perusahaan farmasi itu disepakati oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia, dan Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia, belum lama ini. Dana tersebut akan digunakan untuk membiayai dokter yang hendak mengikuti seminar.
Sponsorship untuk dokter di rumah sakit swasta akan dikoordinasi oleh ikatan dokter. Adapun bantuan bagi dokter yang berstatus pegawai negeri sipil akan dikelola Kementerian Kesehatan. Cara ini diharapkan bisa mencegah pemberian gratifikasi dari perusahaan farmasi kepada dokter secara langsung.
Maraknya suap terselubung itu telah diungkap secara gamblang dalam investigasi majalah Tempo, beberapa waktu lalu. Biaya perusahaan farmasi untuk menyogok dokter cukup besar, yakni 40 sampai 45 persen dari harga obat. Praktek kotor itu dibiarkan bertahun-tahun. Sebelumnya, 14 tahun silam, Tempo juga melakukan penelisikan serupa dengan hasil yang mirip pula.
Praktek itu belum tentu lenyap dengan adanya pengumpulan dana sponsorship. Harus dipastikan dulu pengelolaan dana dilakukan secara profesional. Dokter-dokter penerima sponsorship tidak boleh mengetahui perusahaan farmasi pemberi bantuan kepadanya. Perusahaan farmasi juga tak boleh mengetahui dokter-dokter yang menerimanya. Inilah yang akan sulit terjadi. Kalangan perusahaan farmasi boleh jadi tak akan mau menyumbang bila tidak tahu siapa dokter-dokter penerima bantuan itu.
Pengelolaan dana sponsorship dalam satu wadah juga tidak menjamin tak ada lagi pemberian gratifikasi kepada dokter secara langsung. Tanpa aturan yang lebih jelas dan tindakan hukum yang lebih tegas, kalangan perusahaan farmasi akan terus mendekati dan memberikan fulus kepada dokter agar produknya dipakai dalam resep.
Penegak hukum, terutama KPK, perlu bertindak tegas jika ingin memerangi persekongkolan itu. Jika memang pemberian hadiah tersebut masuk kategori suap, terutama buat dokter yang berstatus pegawai negeri, seharusnya ditindak. Adapun aturan buat dokter swasta harus diperjelas. Tindakan tegas juga perlu dilakukan terhadap perusahaan farmasi. Pemerintah bahkan bisa menghukumnya lewat pencabutan izin.
Harus diakui, dokter memerlukan biaya untuk seminar dan meningkatkan kemampuan. Tapi, bukankah semua profesi juga membutuhkan hal yang sama? Tidak seharusnya para dokter menghalalkan gratifikasi dengan dalih demi mengembangkan profesi. Perusahaan farmasi pun tak semestinya memanfaatkan aturan yang masih abu-abu demi mendongkrak penjualan produk. Rakyatlah yang dirugikan karena harga obat jadi amat mahal.