PALU hakim sepertinya masih tumpul untuk terdakwa perkara korupsi. Sepanjang satu tahun terakhir, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat 68 terdakwa perkara korupsi divonis bebas oleh pengadilan. Angka ini membuat kita miris.
Tidak hanya itu, di antara 564 putusan kasus korupsi tahun lalu yang dikaji ICW, ada 71 persen yang dijatuhi hukuman rata-rata 2 tahun penjara. Jumlah itu tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Fenomena ini jelas mencederai rasa keadilan masyarakat. Kondisi ini juga bertolak belakang dengan prinsip pemberian efek jera bagi para pelaku tindak pidana kejahatan luar biasa itu.
Putusan hakim tentu saja bukan satu-satunya penyebab terdakwa korupsi divonis bebas atau ringan. Dakwaan jaksa di persidangan yang ala kadarnya, bahkan kerap tidak disertai pembuktian kuat, juga menjadi biang kerok. Fakta di persidangan selama ini membuktikan, tuntutan jaksa yang ringan disertai pembuktian lemah selalu berujung vonis bebas atau ringan.
Kualitas tuntutan jaksa di persidangan memang selalu linier dengan bagaimana kasus tersebut mulai diusut. Jika menghendaki kualitas dakwaan dan pembuktian yang kuat, penegak hukum juga harus menguatkan penanganan kasus sejak tahap penyelidikan.
Pada tahap awal ini, penegak hukum juga harus leluasa menggunakan jerat pidana pencucian uang. Apalagi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sudah memberikan wewenang kepada semua instansi penegak hukum untuk mengusut praktek pencucian uang yang kejahatan awalnya korupsi.
Undang-undang ini juga memiliki jangkauan yang lebih jauh mengungkap praktek korupsi melalui pelacakan aset. Beleid ini juga memiliki jerat pembalikan beban pembuktian, yang bisa sangat efektif melacak kekayaan yang diduga merupakan hasil pidana korupsi. Selama ini, masih banyaknya vonis bebas atau ringan untuk kasus korupsi terjadi karena penegak hukum masih berorientasi pada paham bahwa pembuktian kasus korupsi cukup menggunakan pasal suap atau gratifikasi.
Banyak kasus di KPK yang berujung vonis berat di atas 10 tahun karena terdakwanya dijerat dengan pasal korupsi dan pidana pencucian uang. Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Luthfi Hasan Ishaaq, misalnya, divonis 18 tahun penjara dalam kasus suap kuota impor sapi. Ada juga kasus korupsi dan pencucian uang proyek simulator kemudi yang melibatkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI, Inspektur Jenderal (Pol) Djoko Susilo, yang dihukum 18 tahun penjara.
Ke depan, instansi penegak hukum, terutama KPK, yang menjadi jantung pemberantasan korupsi, harus mengubah paradigma pengusutan korupsi yang sebelumnya berorientasi follow the suspect menjadi follow the money. Upaya ini untuk menjamin kualitas pembuktian perkara yang lebih baik di pengadilan. Dari sisi pengawasan, MA dan Komisi Yudisial juga harus rajin turun ke lapangan untuk memastikan hakim tetap independen dan tidak "masuk angin".