Putu Setia
Sebentar lagi "manusia setengah dewa" akan turun di bumi Indonesia. Dia bernama Busyro Muqoddas atau Bambang Widjojanto. Salah satu dari dua manusia ini menjadi harapan Republik untuk menumpas para koruptor.
Kedua calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi yang dijuluki oleh (sebagian) media sebagai "manusia setengah dewa" ini menyiratkan betapa ditunggu-tunggunya makhluk itu. Julukan itu diambil dari lagu Iwan Fals yang intinya berharap ada orang yang bisa memperbaiki negeri ini melebihi manusia-manusia lain, meski jauh dari seorang malaikat.
Mereka dipilih dari 287 "manusia biasa" yang mendaftarkan diri. Diperas menjadi 147, lalu didapatkan 7 "manusia seperempat dewa", dan akhirnya, sesuai dengan aturan, ditentukan 2 "manusia setengah dewa". Busyro dan Bambang tak diragukan. Menurut Ketua Komisi Hukum--komisi yang akan memilih salah satunya--Dewan Perwakilan Rakyat Benny K. Harman, keduanya sama-sama baik. Bukan calon bupati di banyak daerah yang dipilih berdasarkan "terbaik dari yang terjelek". Bambang bahkan siap mati untuk jabatan ini. Betapa beraninya dia, karena mati tak bisa diulang.
Akankah negeri ini bebas dari korupsi? Jawabnya adalah mudah-mudahan. Sulit untuk menjawab "ya", karena manusia Indonesia dikenal sebagai manusia yang cerdik meskipun tak bijaksana. Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi adalah menangkap koruptor setelah ada bukti-bukti. Lalu tugas selanjutnya diserahkan kepada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Setelah sang koruptor dihukum, tugas diambil pemerintah.
Mari berhitung. Koruptor yang menjarah uang rakyat Rp 10 miliar hanya dihukum 4 tahun penjara plus mengembalikan barang bukti Rp 2 miliar. Masih tersisa Rp 8 miliar. Vonis 4 tahun artinya 48 bulan, dua pertiga dilalui bisa bebas bersyarat, jadi cukup dibui 32 bulan. Tahun pertama dapat remisi 8 bulan, 4 bulan untuk Hari Kemerdekaan, 4 bulan untuk hari raya keagamaan. Meski koruptor dinyatakan haram untuk disalatkan, ia punya kartu tanda penduduk yang mencantumkan agama. Berdasarkan matematika anak sekolah dasar, sang koruptor punya 20 bulan dalam setahun. Artinya, belum habis tahun kedua dibui, ia sudah bebas, padahal hakim jelas memvonis 4 tahun.
Lebih hebat lagi jika sang koruptor tiba-tiba diserang stroke ringan--kalau stroke berat bisa mampus--yang membuat dia dinyatakan linglung dan omongannya kacau. Maka, demi "kemanusiaan yang adil dan beradab", presiden yang memegang teguh Pancasila dan sangat toleran kepada penderitaan rakyatnya memberikan grasi kepada sang koruptor. Bebaslah dia dari bui.
Apakah hukuman ini membuat efek jera? Mungkin tidak. Dalam kasus di atas, ia masih punya sisa Rp 8 miliar, dan selama 2 tahun dibui katakanlah habis Rp 2 miliar untuk mendapat santapan yang mewah dan memberikan upeti kepada para sipir. Nah, masih "untung" Rp 6 miliar.
Hukuman sosial, tidak disalatkan jenazahnya, juga tak mampu memberi efek jera. Sang koruptor bisa berkata dalam hatinya, "Emangnya gue pikirin. Disalatkan atau enggak, apa bedanya, kan gue udah mati." Ajaran agama seperti menyebutkan sang koruptor bakal menghuni neraka paling kejam tak pula mempan. ("Emangnya lu pernah ke sana, kok tahu cerita begituan.")
Kalau begitu, "manusia setengah dewa" tak ada artinya jika sistem hukum negeri ini masih bersahabat dengan koruptor. Apalagi pelajaran agama, budi pekerti, moral, dan etika tidak ditanamkan sejak dini. Bambang dan Busyro bisa tergelincir menjadi hanya "manusia biasa", sementara "manusia setengah manusia", seperti koruptor, tetap merajalela.