Pembatalan enam ruas jalan tol dalam kota oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama patut didukung. Gubernur Basuki membatalkan rencana pembangunan jalan tol dalam kota karena Ibu Kota lebih membutuhkan penambahan jalan arteri. Jalan tol nantinya juga menjadi aset pemerintah pusat, bukan pemerintah DKI Jakarta.
Pembangunan jalan arteri akan meningkatkan rasio jalan di Jakarta. Pada umumnya, jalan arteri panjang dan memiliki banyak akses keluar-masuk ketimbang jalan tol. Banyaknya akses ini akan meningkatkan daya tampung jalan. Selain itu, jalan arteri terbuka bagi umum, sehingga pembagian beban jalan akan lebih merata, penumpukan di ruas jalan sekitar pintu jalan tol bisa dihindari, dan kemacetan akan lebih mudah diurai.
Bagi angkutan umum, kehadiran jalan arteri juga mendatangkan manfaat. Dengan lebih banyak akses jalan yang bisa disinggahi, penumpang akan tertarik memanfaatkan angkutan umum. Dalam rencana semula, meski sebagian ruas jalan tol didedikasikan untuk angkutan umum, minimnya titik henti akan membuat pengguna enggan menggunakan angkutan umum.
Keuntungan lainnya, kepemilikan jalan arteri di bawah pemerintah DKI Jakarta mempermudah perawatan jalan. Pemerintah DKI tak perlu melapor ke Kementerian Pekerjaan Umum jika hendak melakukan perbaikan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 38/2004 tentang Jalan, jalan tol merupakan jalan nasional dan terdaftar sebagai aset pemerintah pusat.
Namun tidak berarti penambahan jalan arteri menjadi solusi sempurna. Penambahan jalan di Ibu Kota tidak sebanding dengan penambahan jumlah kendaraan. Berdasarkan data di Kepolisian Daerah Metro Jaya, jumlah mobil rata-rata bertambah 600 ribu dan sepeda motor 1,6 juta unit, atau tumbuh 12 persen per tahun. Adapun panjang jalan hanya tumbuh 0,01 persen atau 700 meter per tahun!
Melihat data tersebut, pertumbuhan ruas jalan sampai kapan pun akan tertinggal oleh pertumbuhan volume kendaraan. Maka, tanpa antisipasi yang tepat, kehadiran ruas jalan baru justru berpotensi menjadi "insentif" bagi masyarakat untuk memakai kendaraan pribadi, alih-alih menggunakan kendaraan umum.
Supaya ini tidak terjadi, Ahok mesti menuntaskan janjinya menyediakan sarana transportasi umum yang layak. Baik layak secara jumlah maupun kualitas kendaraan dan pelayanan awak angkutan. Tantangan ini tidaklah ringan, di tengah jeleknya citra angkutan umum. Upaya Ahok menggabungkan seluruh perusahaan angkutan umum di Jakarta dalam Transjakarta perlu dilanjutkan.
Kebijakan "disinsentif" juga perlu ditempuh melalui pembatasan pemakaian kendaraan pribadi. Berbagai wacana Ahok, seperti penerapan jalan berbayar (electronic road pricing), menaikkan tarif parkir, atau aturan pelat ganjil-genap, harus segera dieksekusi. Dengan begitu, ruas jalan baru tidak berbalik arah dari pemberi solusi mengatasi kemacetan menjadi pemberi solusi bagi pabrikan kendaraan bermotor.