Di musim hujan ini, air kembali mengepung kawasan Istana Merdeka di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, persis seperti tahun lalu. Kawasan Istana dan Monumen Nasional semestinya steril dari banjir. Sebab, kondisi saluran air di sekitar wilayah tersebut sudah jauh lebih baik.
Bila Jakarta terus dilanda banjir, pemerintah harus mengeluarkan dana khusus untuk siaga darurat. Nilainya mencapai Rp 57 miliar. Yang jadi masalah, penggunaan dana tersebut sulit dilacak. Transparansi masih menjadi kendala dalam penggunaan dana khusus. Apalagi, jika Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menyetujui Jakarta dalam kondisi darurat, institusi yang menangani banjir bisa langsung menggelontorkan dana sebanyak itu.
Tapi apa benar kawasan Istana Merdeka dan Monumen Nasional kebanjiran? Ahok curiga dan menduga ada permainan pihak tertentu. Ia menyebutnya sebagai sabotase banjir. Pemerintah DKI pun mengecek di lapangan. Ternyata benar, ada satu truk lapisan pembungkus kabel fiber optik yang menyumbat saluran air di bawah trotoar Jalan Medan Merdeka Selatan, di depan gedung Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Pembungkus kabel-kabel itulah yang menjadi penyebab terjadinya banjir. Buktinya, air langsung surut setelah kabel diangkat. Sayangnya, di daerah tersebut tidak ada closed-circuit television (CCTV) yang bisa mengungkap siapa pelaku yang menyumpalkan kulit kabel ke saluran air tersebut. Sulit untuk tak mengatakan ada pihak tertentu yang menaruhnya dengan sengaja di sana. Apalagi lokasinya di satu titik. Kemungkinan kulit kabel terbawa arus sangat kecil lantaran bahannya terbuat dari karet yang tenggelam dalam air.
Kejadian di dekat gedung ESDM itu hampir serupa dengan yang pernah terjadi di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan. Saat itu, ditemukan banyak barang di dalam selokan hingga membuat aliran air tersendat. Barang-barang itu, antara lain, adalah kasur dan ban.
Jakarta kebanjiran pada musim hujan sudah terjadi sejak zaman Belanda. Tapi lain cerita jika banjir itu terjadi akibat sabotase. Jelas ini perbuatan tindak pidana, pelakunya mesti diseret ke pengadilan. Kepolisian Daerah Metro Jaya harus segera menangkapnya. Pelaku dapat dijerat dengan Pasal 188 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang berbunyi: "barang siapa karena kesalahan (kealpaan) menyebabkan kebakaran, ledakan, atau banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun."
Banjir di Jakarta sudah menjadi langganan setiap musim hujan karena kontur wilayahnya yang 40 persen di bawah permukaan air laut. Tapi bukan mustahil untuk diminimalkan. Selain membersihkan gorong-gorong secara rutin, perlu dipikirkan untuk membangun tanggul dengan bantuan dana pemerintah pusat dan perusahaan swasta. Dan, belajar dari kasus sabotase ini, tentu juga menindak tegas orang-orang yang tak suka melihat Jakarta bebas banjir.