Putu Setia
Hari-hari ini pasti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak sempat memikirkan mengganti para menterinya. Desakan supaya mengganti menteri yang kinerjanya buruk terus menggema. Bencana alam yang beruntun, dari barat ke timur, membuat perhatian SBY tercurahkan ke rakyat.
Saya terpanggil membantu SBY. Tapi bukan soal mengganti menteri, karena saya tak banyak hafal nama menteri, apalagi yang dikerjakannya. Saya justru mengusulkan menambah dua kementerian baru. Ini usul serius, jangan ditertawakan, tak boleh ada seorang pun anak bangsa (istilah ini mengingatkan saya pada Amien Rais, di mana ya beliau?) yang tertawa di tengah bencana.
Kementerian pertama adalah Kementerian Urusan Studi Banding. Yang kedua, Kementerian Urusan Bencana.
Tugas Menteri Studi Banding adalah membuat aturan apa yang dimaksudkan studi banding, apa tema yang akan dibandingkan, siapa orang yang berangkat, ke mana tujuannya, kapan boleh berangkat, dan banyak lagi.
Menjelang berakhirnya tahun anggaran ini, studi banding begitu meriah, baik yang ke luar negeri maupun di dalam negeri. Tapi temanya menghina kecerdasan maupun nalar anak bangsa, yang sudah mewariskan budaya luhur sejak Zaman Majapahit. Untuk urusan etika saja harus berangkat ke Yunani, memangnya Kerajaan Majapahit, Kediri, dan Mataram tak pernah menghasilkan susastra berkaitan dengan etika? Unjuk rasa era Mataram dilakukan rakyat dengan cara pepe--berjemur diam di alun-alun--dan raja terhina kalau tidak mendengar "pengaduan" rakyatnya. Ini satu contoh kecil etika adiluhur. Sekarang unjuk rasa sudah meniru Barat: merobohkan pagar, membakar ban bekas (ban baru mahal, kan?), lalu bentrok dengan petugas. Mestinya orang Barat yang belajar etika ke sini.
Begitu pula etika berangkatnya, negeri sedang berkabung dengan mayat-mayat tergeletak diserang tsunami dan awan panas, kok bisanya terbang ke luar negeri. Apa masih enak bersantap di atas langit dilayani pramugari cantik, berjalan di London, Athena, Berlin? Jika tak terganggu oleh musibah di dalam negeri, berarti sudah tak waras lagi--maaf, tadinya hampir saya gunakan kata "edan".
Di dalam negeri juga begitu. Pejabat di Bali studi banding ke Kalimantan Timur, mempelajari dampak pertambangan batu bara. Apa juntrungannya, wong di Bali tak ada batu bara? Bali pun dipenuhi pejabat dan wakil rakyat dari daerah lain yang studi banding, tapi yang dikunjungi Pura Besakih, Pura Tanah Lot, apa mau belajar Hindu? Terlalu dangkal penipuan ini, untuk pelesir saja menggunakan uang rakyat.
Menteri Bencana urusannya pun banyak. Kita hidup di alam yang akrab dengan bencana, tapi penanganan bencana kacau, tak ada koordinasi. Banyak lembaga yang mengumpulkan "dompet bencana"--khususnya media massa--tapi tak ada transparansi sudah berapa bantuan diserahkan kepada korban, bagaimana cara membantu dan prioritas yang dibantu, berapa sisa dana dan bunga banknya, siapa yang mengaudit, serta layakkah bantuan itu diberi label pengelola "dompet" padahal uangnya dari masyarakat.
Jika ada kementerian ini, semuanya harus melalui pintu itu, ada penanggung jawab tunggal, tapi yang bergerak bisa banyak institusi. Akan terhindar salah bantu, misalnya, ketika di satu tempat pengungsian dilaporkan makanan tak cukup, semua orang menyumbangkan nasi bungkus. Esoknya, ribuan nasi bungkus basi, sementara bayi kehabisan susu.
Itulah usul saya, Pak SBY, tambah dua kementerian. Kalau disetujui satu, cukup Kementerian Bencana saja, urusan studi banding dijadikan direktorat jenderal--namanya: Direktorat Jenderal Bencana Moral.