Putu Setia
Di perjalanan, saya bertanya dalam hati, kenapa saya diminta datang ke padepokan Romo Imam. Ternyata Romo baru pulang dari Yogya, dan beliau membawa oleh-oleh untuk saya: gudeg di dalam kendi tanah liat. Wah, ini kejutan.
"Yogya aman-aman saja. Dampak erupsi Merapi tak banyak pengaruhnya di kota. Malioboro masih ramai. Bahkan ada oleh-oleh yang laris sekarang: lambang Keraton Yogya dibuat dalam bentuk bendera atau disablon di baju kaus dengan kata pelesetan khas Yogya," kata Romo.
"Demo masih ada?" tanya saya. "Ya, ini kan dinamika," jawab Romo. "Saya percaya wong Yogya tak akan berbuat anarki seperti aksi mahasiswa di Makassar."
"Masih tetap menuntut penetapan Sultan menjadi gubernur?" tanya saya lagi. Romo Imam kali ini tampak serius. "Yang ada di permukaan seperti itu, tapi masyarakat Yogya kan umumnya pendiam. Saya tak tahu yang diam itu seperti apa."
Romo melanjutkan, "Sebenarnya kata penetapan itu mengandung makna masih ada ketergantungan pada pemerintah pusat. Kalau pusat tidak mengeluarkan surat penetapan, apakah Sultan sah sebagai Gubernur Daerah istimewa Yogyakarta? Dengan istilah penetapan yang dituntut ini, Yogyakarta masih belum otonom, masih menunggu penetapan dari Jakarta. Kalau melihat aksi yang ada di permukaan, semestinya istilah yang dipakai otomatis. Jadi Sultan itu otomatis gubernur, Jakarta tak bisa ngerecoki dan campur tangan."
"Itu kan cuma istilah Romo, maksudnya, ya, penetapan itu otomatis Sultan jadi gubernur," saya memotong. Romo langsung menyambar ucapan saya. "Maksudnya begitu. Tapi karena ini akan dibuatkan undang-undang, mesti jelas, jangan nanti multi-tafsir. Penetapan berbeda dengan otomatis, berbeda jauh dengan pemilihan. Nah, maunya apa?"
"Itu pentingnya pemerintah segera menyerahkan draf undang-undang tentang Yogya ke DPR," saya menyela. Romo sependapat, "Betul, jangan ditunda. Kalau kita taat asas pada aturan bagaimana melahirkan undang-undang, perdebatan soal materi seharusnya di parlemen. Jangan berdebat terbuka ketika barangnya belum ada di parlemen. Yang membuat undang-undang itu parlemen, bukan pemerintah. Presiden hanya mengundangkannya. Ini pun dalam aturan yang baru. Kalau pemerintah tak sreg dengan undang-undang yang dihasilkan parlemen, lalu Presiden tak mau tanda tangan, selang 30 hari sejak disahkan parlemen, undang-undang itu langsung berlaku."
"Kedudukan DPR sangat kuat," kata Romo lagi. "Mestinya, kalau keadaan mendesak karena tahun depan masa jabatan Sultan sebagai gubernur sudah habis meski sudah diperpanjang, DPR bisa memberikan deadline kepada pemerintah. Jika dilewati deadline itu, DPR membuat undang-undang sendiri. Drafnya ada banyak, ada dari Dewan Perwakilan Daerah, ada dari UGM, lalu pihak Keraton bisa diminta masukan. Apa sih sulitnya kalau mau kerja, DPR juga punya staf ahli."
Saya menyela, "Romo, parlemen juga ogah-ogahan membuat undang-undang. Lihat saja, seberapa banyak rancangan undang-undang yang antre, targetnya tak tercapai. Satu contoh, undang-undang tentang penyelenggara pemilu, dari April sampai kini tak kunjung selesai, padahal cuma revisi dari undang-undang yang ada. Mereka berdebat panjang, apakah anggota KPU boleh dari partai atau tidak. Tak pernah selesai perdebatan ini, padahal undang-undang ini pembuka jalan untuk undang-undang pemilu lainnya. Kalau tak bisa musyawarah, kenapa tak voting saja? Kita dikejar waktu."
Romo mengangguk. "Kalau begitu, antara eksekutif dan legislatif mereknya 'miwon', sami mawon. Capek deh...." Dan Romo tertawa.