Umbu T.W. Pariangu, Dosen Fisipol Undana, Kupang
Rahim demokrasi untuk melahirkan pemimpin berkualitas via pemilihan kepala daerah serentak 9 Desember mendatang terancam luka. Pasalnya, penentuan kandidat diwarnai tebaran mahar politik. Meski mulut petinggi partai politik berbusa-busa menjamin tak ada mahar dalam pencalonan kepala daerah, bau tengik transaksional tersebut tak bisa disembunyikan. Hal ini diakui Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang, yang mundur sebagai calon Bupati Manggarai, Nusa Tenggara Timur, karena menolak permintaan mahar politik dari parpol tertentu sejumlah miliaran rupiah. Hal sama dialami Ketua DPC Gerindra di Toba Samosir, Asmadi Lubis, yang harus menyediakan Rp 2,5 miliar untuk membayar sebuah partai.
Biasanya, biaya administrasi dan kebutuhan membiayai konsolidasi mesin parpol dijadikan alasan untuk menarik mahar dari kandidat. Sebaliknya, kandidat yang merasa dirinya tidak menjual secara elektabilitas sangat membutuhkan tiket dukungan mesin parpol. Nahasnya, mahar tak cuma dipungut pengurus pusat parpol, tapi juga pengurus daerah dengan alasan merekalah yang menggerakkan mesin parpol secara langsung untuk meraup dukungan dan suara. Kandidat bersih dan berkompeten akhirnya terjungkal karena parpol lebih memprioritaskan kandidat berduit dan bisa "berkompromi".
Mahalnya pengeluaran politik sebagai konsekuensi penerapan kontestasi elektoral dan ketatnya syarat pengajuan pasangan calon oleh parpol/gabungan parpol disertai kentalnya budaya materialistis adalah penyebab parpol menjadi sangat pragmatis. Padahal, dengan mematok mahar, parpol telah memberi lampu hijau sejak awal bagi kandidat untuk merancang agenda korupsi dan pertukaran kepentingan sebagai strategi mengembalikan sejumlah modal politiknya yang terkuras di awal, kala sudah menjabat.
Virus mahar harus dieliminasi demi rahim demokrasi lokal tetap sehat. Semakin banyak pihak membongkar skandal mahar tersebut ke publik, semakin mudah masyarakat mengawasi dan menilai konduite parpol. Harus diakui, pagar larangan praktek mahar memang belum kokoh. Meski Pasal 47 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 menegaskan bahwa setiap orang atau lembaga dilarang memberi imbalan kepada parpol dalam bentuk apa pun dalam proses pencalonan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota, aturan ini masih blong untuk mengerem laju hasrat Machiavellian para kandidat.
Ada sanksi keras, yakni Komisi Pemilihan Umum akan membatalkan penetapan calon kepala daerah dan mendenda parpol sepuluh kali lipat dari nilai mahar yang diterima jika terbukti menerima mahar. Masalahnya, untuk menghukum pelaku, perlu keputusan berkekuatan hukum tetap. Sayangnya sanksi tersebut belum memiliki cantolan dari pasal pidana. Karena itu, harus ada terobosan hukum yang segera menyinkronkan sanksi Undang-Undang Pilkada dengan pasal pidana, sehingga produk hukum untuk menjerat kasus mahar tak sekadar gertak sambal.
Selain itu, Badan Pengawas Pemilu perlu bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi maupun Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk melacak rekening pribadi kandidat dan kroni-kroninya, termasuk pengurus elite parpol, untuk memastikan apakah ada pergerakan dana-dana mencurigakan selama proses dan pasca-pilkada. Jika ada indikasi kuat, pelakunya harus dihukum berat. *