Munawir Aziz, peneliti dan peserta Muktamar NU
Muktamar Nahdlatul Ulama ke-33 di Jombang telah selesai dihelat. Muktamar yang digelar pada 1-5 Agustus 2015 ini menjadi momentum bersejarah dalam perjalanan Nahdlatul Ulama sebagai jama'ah (komunitas) dan jam'iyyah (organisasi). Bersejarah dalam artian bahwa usul untuk mengembalikan marwah (kehormatan) para kiai sebagai pemegang komando tertinggi dalam struktur sekaligus kultur terjawab dalam perjuangan yang sangat berliku.
Muktamar ke-33 NU juga menjadi pertanda hadirnya kembali ghirah (semangat) para kiai yang ingin agar organisasi ini jauh dari politik praktis maupun kepentingan politik di tingkat lokal. Hasilnya, ahlul halli wal-aqdi (biasa disingkat AHWA; ada yang menyebut Ahlaq) disepakati sebagai konsep untuk menentukan pemimpin dalam level tertinggi, yakni Rais Aam Pengurus Besar NU. Perubahan sistem ini tentu saja membawa gejolak yang luar biasa karena gesekan kepentingan yang tidak terhindarkan.
Perubahan memang membutuhkan pengorbanan. Kondisi yang bergerak di sekitar perubahan adalah gesekan, perbedaan pendapat, hingga perselisihan karena ketidaksamaan perspektif. Aura panas Muktamar ke-33 di Jombang di beberapa titik menimbulkan friksi yang mengakibatkan meletupnya emosi. Inilah dinamika dalam sejarah NU, organisasi kemasyarakatan yang sejauh ini terbukti kokoh mengawal keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bersama Muhammadiyah, NU sudah terbukti menjadi pembuka gerbang kemerdekaan yang hingga kini masih istikamah dalam mengawal Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Undang-Undang Dasar 1945.
Lalu, apa yang mendorong muktamar ke-33 organisasi para kiai ini menjadi terlihat ricuh? Tidak lain adalah gesekan kepentingan, nafsu untuk menguasai jabatan, hingga kesilapan menghargai warisan para ulama terdahulu. Dalam hal ini, kecerdasan spiritual para kiai NU mengalahkan logika politik yang mendominasi perhelatan. Di puncak kericuhan, KH Mustofa Bisri (sebagai Rais Aam pengganti KH Sahal Mahfudz) menitikkan air mata untuk memohon para muktamirin berakhlak karimah. "Saya menangis, malu kepada Allah SWT, Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syansuri yang telah mengajari kita. Dengarkan saya. Kalau tidak, lupakan saya. Kalau perlu, saya ciumi kaki-kaki Anda supaya Anda menunjukkan diri sebagai seorang ulama," ucap Gus Mus, yang kemudian meredam amarah menjadi kesejukan di tenda sidang muktamar.
Penulis merasakan betul betapa aura panas karena tensi kepentingan yang meningkat seketika menjadi sejuk berkat getaran hati yang dipantulkan dalam pidato Gus Mus. Air mata menjadi penanda dalam Muktamar Nahdlatul Ulama ke-33. Ke depan, semoga air mata Gus Mus menjadi yang terakhir dalam sejarah kepedihan organisasi ini. Karena, masih ada banyak program strategis yang perlu dikerjakan: kaderisasi, kemandirian organisasi, hingga diplomasi Islam Nusantara. Momentum satu abad Nahdlatul Ulama sudah menunggu di depan mata.
Di akhir segalanya, ke depan, duet KH Ma'ruf Amin dan KH Said Aqil Siroj-sebagai Rais Aam dan Ketua Umum PBNU-memikul tugas menuntaskan gegeran (perselisihan) menjadi ger-geran (canda tawa, harmoni) dalam seluruh dimensi warga nahdliyin. Semoga.