Candra Malik, peninjau dalam Muktamar ke-33 NU di Jombang
Saya memilih untuk bergembira atas keputusan KH Ahmad Mustafa Bisri (Gus Mus) yang menyatakan tidak bersedia dan tidak sanggup untuk menjadi Rais Aam Syuriah PBNU masa khidmat 2015-2020.
Namun kegembiraan itu terusik ketika Gus Mus meneteskan air mata dan bahkan bersedia mencium kaki muktamirin agar menegakkan kembali ahlakul karimah daripada meneruskan keributan sejak pembahasan tata tertib muktamar. Pun ketika beliau menangis dan memohon maaf di pusara KH Hasyim Asy'ari, KH Wahid Hasyim, dan KH Abdurrahman Wahid di Tebu Ireng, Jombang.
Saya semakin trenyuh membaca satu kisah yang diceritakan kembali oleh Ammar Abdillah, penyair dari Pati, Jawa Tengah. "Seseorang datang kepada seorang arif dan memberitahunya bahwa ada orang yang menggunjing sang arif dan berkata buruk tentangnya. Sang arif menjawab: dia telah melemparkan panah ke arahku tapi tidak sampai, tetapi sekarang kau justru mengambil anak panah itu lalu kau tancapkan ke dadaku."
Seketika, saya membayangkan kisah itu terjadi pada Gus Mus; yang bersanubari bening dan berpikir jernih. Saya yakin beliau memilih mendengar kabar yang baik-baik saja seputar muktamar, tapi kemudian datang kabar buruk padanya.
Entah dari mana kabar buruk itu pada awalnya menghampiri beliau. Mungkin dari saya sendiri, atau dari Anda, atau dari lingkaran yang terus mengitari Gus Mus. Beliau lantas mengirim dua surat secara berturut-turut. Pertama, ketidaksediaan dan ketidaksanggupam beliau (dipilih) menjadi Rais Aam. Yang kedua, penegasan atas sikap beliau bahwa sebaiknya jabatan Rais Aam diserahkan kepada kiai di luar dua kubu yang dianggap berkonflik.
Saya yang hampir hanyut dalam kesedihan menjadi tersenyum membaca surat kedua dari Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah, ini. Gus Mus, dalam linangan air mata, masih saja memperjuangkan kegembiraan orang lain; terutama nahdliyin. Di bagian akhir surat itu, Beliau menegaskan, "... Sedangkan untuk ketua umum tanfidziyah, biarlah rais aam terpilih merestui semua calon agar muktamirin bisa bergembira memilih pilihannya sendiri-sendiri."
Ya Allah, ya Rabb, sedemikian tinggi Gus Mus memperlihatkan kerendahan hati beliau kepada kita yang pongah ini. Ahlakul karimah adalah tujuan utama kerasulan Nabi Muhammad SAW, dan betapa Gus Mus tidak lelah untuk mengingatkan kita.
Saya menjadi ingat ucapan beliau ketika saya sowan ke Leteh. Beliau berkata, "Orang-orang salah menduga saya. Mereka pikir saya ini makin hari makin muda. La kok ini makin tua makin banyak permintaan agar saya ke sana-sini dan melakukan ini-itu." Saya yakin keluarga Leteh kini gembira Gus Mus telah kembali ke rumah, ke pondok, dan tak disibukkan lagi oleh amanah sebagai Rais Aam.
Namun saya yakin Gus Mus kini justru memiliki ruang gerak yang lebih leluasa mengurus umat. Beliau memang bukan Rais Aam Syuriah PBNU. Tapi, sebagaimana saya katakan kepada Ketua Syuriah Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU Australia-Selandia Baru Profesor Nadirsyah Hosen: bagi saya, Gus Mus telah melampaui kita yang masih suka berebut hal-hal duniawi.
"Gus Mus adalah Rais Aam Ruhiyah," kata saya kepada Gus Nadir. Ah, mungkin salah, mungkin berlebihan, tapi saya bisa kembali bergembira. Matur nuwun, Gus Mus. *