Endang Suarini, Pemerhati Kesehatan Masyarakat
Majelis Ulama Indonesia baru-baru ini mengeluarkan fatwa bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS) tidak sesuai dengan syariah Islam. Fatwa tersebut dikemukakan Ketua Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, KH Ma'ruf Amin. Namun MUI membantah mengeluarkan fatwa BPJS Kesehatan haram. Sebagian kalangan bertanya kenapa baru sekarang MUI mengeluarkan fatwa demikian. Seperti diketahui, BPJS telah dirancang dan diluncurkan sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Mengenai fatwa itu, MUI memberi penjelasan bahwa penyelenggaraan BPJS Kesehatan dianggap tidak sesuai dengan prinsip syariah karena, antara lain, mengandung unsur riba. Pasalnya ada denda yang harus dibayarkan peserta jika terlambat menyetorkan iuran BPJS Kesehatan. Denda itu mencapai sebesar 2 persen per bulan dari iuran total yang tertunggak. Menurut pakar politik ekonomi, Profesor Dawam Rahardjo, fatwa MUI itu bagus, karena BPJS memang mengikuti prosedur perbankan konvensional sehingga membuka praktek riba.
Sebagian yang lain, seperti Ketua PBNU KH Aqil Siradj, menilai MUI terlalu suka obral fatwa. Tidak mengherankan dalam muktamar NU di Jombang, pada awal Agustus, fatwa MUI itu juga direspons. Meski MUI menyatakan BPJS Kesehatan tidak sesuai dengan syariah, Komisi Bahtsul Masail Muktamar NU di Jombang memutuskan jaminan sosial tersebut boleh diterapkan dengan memegang prinsip syirkah ta'awuniyah (perkumpulan yang saling tolong-menolong). Prinsip demikian berbeda dengan asuransi konvensional yang hanya menanggung peserta yang tertib membayar premi (tempo.co, 4/8).
Terlepas dari berbagai polemik, menurut penulis, fatwa MUI justru perlu direspons secara positif. Anggap saja, hal ini merupakan proses dialektika demi kebaikan BPJS Kesehatan ke depan. Apalagi fatwa MUI juga memunculkan wacana BPJS Syariah, sehingga bisa menjadi alternatif bagi yang keberatan terhadap BPJS Kesehatan konvensional yang selama ini berlaku. Jadi ibarat sistem perbankan, nantinya orang bisa memilih perbankan konvensional atau syariah. Kecuali itu, dengan BPJS syariah, justru memperluas sumber pendanaan, seperti zakat dan wakaf.
Sebagaimana diketahui, keberadaan BPJS masih relatif baru, meski negeri ini sudah berusia 70 tahun. Dulu sebelum ada BPJS, sebagian besar rakyat, khususnya orang miskin, kerap bingung ketika sakit. Bahkan ketika itu ada jargon orang miskin dilarang sakit, saking mahalnya obat dan biaya perawatan di rumah sakit. Sebanyak 1.710 rumah sakit swasta dan pemerintah serta 15 ribu klinik dan dokter praktek melayani para peserta BPJS. Biaya premi warga miskin juga ditanggung negara dengan besaran premi tanggungan Rp 19.225 per orang per bulan untuk 86,4 juta warga miskin. Jika peserta BPJS sakit, semua jenis penyakit bisa dilayani lewat berobat jalan hingga rawat inap.
Keberadaan BPJS Kesehatan juga menciptakan banyak hal positif lainnya, seperti relasi setara dan wajar antara dokter dan pasien. Dulu, tidak semua pasien diperlakukan sebagai subyek oleh setiap dokter. Dalam banyak kasus, pasien kaya bisa mendapat perlakuan berbeda dibanding pasien miskin.
Saya tak berarti mendukung MUI. Fatwa MUI atau kritik apa pun tentang BPJS hendaknya dijadikan masukan untuk lebih mematangkan dan menyempurnakan BPJS Kesehatan. *