Djoko Subinarto, Penulis
Senin Pon, 17 Agustus 2015, Republik Indonesia yang kita cintai genap berusia 70 tahun. Jika diibaratkan dengan sosok individu, usia 70, tentu saja, sudah termasuk kategori sepuh. Namun, untuk ukuran sebuah negara, usia 70 adalah usia yang masih relatif belia.
Jika kita melihat jejak perjalanan sejarah bangsa, terekam dengan jelas bahwa para pendiri Republik memiliki satu pandangan yang sama menyangkut tujuan sentral pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia: menyejahterakan segenap rakyatnya. Karena itu, tatkala Republik akhirnya lahir, para pendirinya sepakat bulat bahwa salah satu tugas pokok yang harus diperjuangkan bersama-sama adalah mewujudkan sebuah negara yang memastikan kesejahteraan rakyatnya (welfare state). Hal ini tertuang secara gamblang dalam konstitusi kita.
Dengan pemahaman seperti itu, keberadaan negara harus senantiasa diarahkan sepenuhnya untuk menggapai tujuan sentral tersebut. Para pengelola negara mengemban tugas sangat mulia, yaitu harus menjadikan seluruh rakyat negeri ini sejahtera, lahir maupun batin.
Sayangnya, hingga hari ini, kita menyaksikan Indonesia masih belum menjelma menjadi sebuah negara yang ideal sebagaimana yang kita cita-citakan itu. Tangan-tangan kapitalistik yang demikian menggurita dibarengi dengan mental koruptif serta rakus para pengelola negara ini menjadikan kesejahteraan sejauh ini hanya milik kalangan elite.
Baca Juga:
Jika kondisi seperti ini terus dibiarkan, alih-alih menjadi negara pemberi kesejahteraan, bisa saja Republik malah menjadi negara gagal (failed sate). Sebuah negara bisa dikategorikan gagal antara lain jika ia tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan baik (Stoddard, 2000). Secara ringkas, terdapat setidaknya tiga kebutuhan utama rakyat yang harus dipenuhi oleh negara.
Pertama, negara wajib menjamin setiap individu dan keluarganya memperoleh pendapatan minimum agar mampu memenuhi kebutuhan hidup paling mendasar. Kedua, negara wajib memberi perlindungan sosial jika individu dan keluarganya berada dalam situasi rawan sehingga mereka dapat menghadapi keterpurukan sosial, seperti sakit, usia lanjut, tunakarya serta kemiskinan.
Ketiga, negara harus menjamin setiap individu tanpa membedakan status dan kelas sosialnya memperoleh akses pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, pemenuhan gizi (terutama bagi kaum balita), sanitasi, dan air bersih.
Tiga kebutuhan utama inilah yang harus senantiasa diperjuangkan tanpa henti oleh para pengelola negara. Para pengelola negara itu sendiri--dari level paling tinggi hingga paling rendah--adalah abdi, pelayan, yang setiap pikiran dan tindakannya harus diniatkan untuk menjalankan ketiga kewajiban utama negara tersebut. Rakyat adalah tuan yang harus mereka layani dengan sebaik-baiknya.
Sungguh tak elok apabila para pelayan negara malah lebih sibuk berpikir serta bertindak hanya untuk kepentingan diri mereka sendiri, dan kemudian menjadi pemangsa (predator) bagi tuan mereka.*