Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pemakai narkoba di Indonesia berprofesi hampir apa saja-dari pelajar, guru, artis, karyawan, penegak hukum, politikus, hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Karena itu, penangkapan Bupati Ogan Ilir Ahmad Wazir Nofiadi Mawardi dan wakilnya, Panji Ilyas, pada Ahad lalu tak terlalu mengagetkan, meski dramanya menarik.
Ditangkap di rumah orang tuanya di Palembang setelah petugas Badan Narkotika Nasional sempat dihalang-halangi masuk, Nofiadi lalu dibawa ke Jakarta. Petugas BNN tak menemukan bukti fisik apa pun, tapi uji urine di tempat membuktikan Nofiadi mengkonsumsi narkoba. Menurut BNN, Nofiadi, yang baru menjabat sebulan, sudah masuk incaran sejak tiga bulan lalu.
Dalam periode tiga bulan sebenarnya banyak hal bisa terjadi, terlepas dari apakah itu berada dalam pantauan atau luput dari "radar" BNN-termasuk pelantikan Nofiadi sebagai bupati, yang oleh kalangan skeptis disayangkan karena seharusnya bisa dihindari. Tapi BNN menepis keraguan soal lamanya turun keputusan untuk menangkap. BNN menyatakan perlu kehati-hatian sebelum bertindak.
Apa pun hasil dari upaya BNN meyakinkan mereka yang sangsi, satu hal tak bisa dibantah: seorang dengan jabatan kepala daerah seperti Nofiadi tentu menambah warna daftar orang-orang dengan profil mentereng yang ditangkap BNN. Yang menjadi masalah adalah mengapa prestasi ini tak juga bisa ditransfer menjadi prestasi yang lebih berarti: misalnya statistik yang memperlihatkan turunnya kasus penyalahgunaan narkoba.
Di sanalah letak pekerjaan besar BNN yang sesungguhnya. Menurut data BNN sendiri, yang diperoleh melalui survei pada 2014, jumlah pelaku penyalahgunaan narkoba 3,8-4,1 juta orang, sekitar 2 persen dari total penduduk. Dibanding hasil survei pada 2011, jumlahnya bisa dikatakan tak banyak berubah. Tapi pada 2020 diperkirakan pengguna narkoba menjadi lebih dari 5 juta orang.
Melihat kecenderungan beberapa tahun terakhir, kenaikan itu bisa menjadi keniscayaan jika BNN lebih sibuk berusaha mengkriminalkan pengguna. Penangkapan dan proses hukum terhadap pengguna, baik yang merupakan orang kebanyakan maupun figur publik, hanya berpeluang membuat sesak penjara. Masalah bagi pengguna adalah kecanduan, yang untuk mengatasinya tidak memerlukan bui, melainkan rehabilitasi.
Supaya tak terlihat sibuk mengurusi masalah yang tak substantif, sepantasnyalah BNN lebih menggencarkan perburuan terhadap pengedar dan, terutama, bandar narkoba. Langkah ini lebih langsung berkaitan dengan lanskap peredaran obat-obatan haram itu. Bagaimanapun, sulit dibantah betapa sejauh ini BNN belum sanggup mengusik, apalagi menghancurkan, jaringan peredaran narkoba. Penjara, misalnya, masih menjadi salah satu titik pengendalian peredaran narkoba.
Sebelum melakukan langkah yang sangat boleh jadi tak akan mengekspos drama itu, ada baiknya pula BNN lebih dulu mengevaluasi kinerjanya.