Tewasnya Siyono di tangan Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri harus diungkap secara terbuka. Ada tudingan dari keluarganya dan sejumlah kelompok bahwa kematian pria asal Klaten itu akibat kekerasan oleh polisi setelah ia ditangkap dan kemudian menjalani pemeriksaan. Adapun polisi menyatakan ia tewas akibat melawan petugas negara yang sedang mengusut kejahatan terorisme.
Di tengah simpang-siur itu, penyebab kematian harus dibuka dengan terang-benderang. Semakin ditutup-tutupi, semakin kuat dugaan ada yang tak beres dalam kematiannya. Jangan sampai tewasnya Siyono ini merusak reputasi polisi, yang selama ini dinilai bagus dalam menangani kejahatan terorisme.
Harus kita akui, kesigapan polisi dalam menangani kasus terorisme mendapat banyak apresiasi, baik di dalam negeri maupun dari banyak kalangan di dunia internasional. Pengalaman menangani serangkaian serangan terorisme di Indonesia membuat polisi kian cekatan dan sigap.
Yang paling baru adalah apresiasi dunia internasional kepada polisi Indonesia ketika sekawanan teroris menyerang Jakarta pada pertengahan Januari lalu. Salah satunya dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang memuji penanganan cepat dan berani oleh polisi Indonesia.
Dunia menyepakati, terorisme merupakan kejahatan luar biasa. Selain itu, terorisme dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan. Itulah sebabnya, pemberantasannya tidak bisa dilakukan dengan cara biasa seperti halnya ketika menangani pencurian, penganiayaan, ataupun pembunuhan. Baik pelaku, perencana, penyandang dana, maupun sponsor kejahatan terorisme harus dibawa ke pengadilan.
Aparat negara memang harus cepat dan aktif dalam menangani terorisme. Kesigapan polisi mendeteksi Siyono sebagai orang yang diduga terlibat dalam jaringan terorisme patut diapresiasi. Namun, disayangkan, polisi bertindak berlebihan dan sewenang-wenang dalam memeriksa dia. Bahkan, dalam sejumlah penanganan kejahatan terorisme sebelumnya, aparat negara kerap diduga melanggar hak asasi manusia.
Catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia bisa dijadikan bahan evaluasi. Komnas HAM menyatakan 118 orang tewas di tangan aparat negara karena diduga terlibat jaringan teroris, tanpa melalui pemeriksaan dan pengadilan. Densus 88 kerap menangkap orang tanpa disertai surat perintah penangkapan.
Selain itu, Densus 88 suka menggeledah dan menyita dengan cara tidak sesuai dengan hukum acara. Tak jarang Densus menganiaya, menyiksa, dan meneror masyarakat, baik secara fisik maupun nonfisik. Komisi juga mencatat, beberapa kali Densus 88 melanggar hak untuk beribadah dan melakukan upaya paksa di depan anak-anak.
Kasus Siyono seharusnya menjadi yang terakhir. Polisi tak bisa sewenang-wenang ketika menangkap orang yang diduga sebagai bagian dari jaringan teroris. Terorisme memang musuh bersama, tapi penindakannya jangan melanggar hak asasi manusia.