Pemerintah sebenarnya tidak perlu mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Organisasi Masyarakat Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara). Keputusan itu tidak hanya menyudutkan organisasi tersebut, tapi jugauntuk kesekian kalinyamenunjukkan campur tangan pemerintah yang terlalu jauh terhadap urusan warga negara.
Dalam surat yang diteken Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, serta Jaksa Agung dan diumumkan pekan lalu itu, diatur beberapa hal yang menyangkut bekas pengikut Gafatar. Di antaranya, dilarang menyebarkan dan berbicara tentang ajaran atau kegiatan mereka di muka umum. Mereka yang melanggar akan mendapat sanksi pidana.
Walau dalam surat tersebut termaktub juga imbauan agar masyarakat tidak melakukan tindakan melanggar hukum terhadap pengikut Gafatar, toh hal itu tak banyak gunanya, sudah terlambat. Anggota Gafatar sudah lebih dulu mendapat teror, cercaan, hingga kediaman mereka dirusak. Esensi SKB itu jelas, pemerintah "menjepit" kegiatan organisasi tersebut. Organisasi itu akan mengempis karena ancaman pemerintah.
Surat kesepakatan tersebut kian menunjukkan cengkeraman pemerintah terhadap kehidupan warga negara yang meluas. Alih-alih mendorong kelompok masyarakat yang berbeda untuk hidup bersanding secara harmonis, pemerintah memilih "menjaga harmoni" dengan mengikuti keinginan kelompok besar dalam masyarakat. Kita menyesalkan sikap ini, apalagi konstitusi melindungi hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat dan berorganisasi.
Sebagai organisasi yang berdiri sejak 2012, Gafatar berhasil memikat banyak orang bergabung, berkat program sosial mereka. Organisasi ini menjadi sorotan setelah akhir tahun lalu muncul laporan banyaknya "orang hilang" yang diduga direkrut Gafatar. Belakangan diketahui bahwa mereka yang "hilang" itu hidup bersama di sebuah permukiman yang mereka bangun di Mempawah, Kalimantan Barat.
Pemerintah kemudian memulangkan orang-orang tersebut, sedangkan kediaman mereka diluluhlantakkan oleh orang-orang yang menganggap kelompok ini menganut agama Islam yang menyimpang. Majelis Ulama Indonesia belakangan kemudian menyatakan Gafatar adalah aliran sesat karena dianggap sebagai metamorfosis dari Al-Qiyadah al-Islamiah, organisasi yang sebelumnya dinyatakan sebagai penganut aliran sesat.
Di sinilah kita menyesalkan sikap pemerintah yang tak melindungi warga Gafatar. Mereka menjadi pesakitan. Harta mereka hilang dan mereka disudutkan dengan tudingan menganut aliran menyimpang.
Gafatar dan para anggotanya seharusnya diperlakukan sama seperti warga negara lain. Mereka bebas menggunakan haknya, termasuk memilih keyakinan apa punsesuatu yang tak bisa diadili. Jika mereka diduga melanggar hukum, proses peradilanlah yang harus dilakukan. Tak perlu setiap kali ada kelompok yang tidak diterima mayoritas kemudian "diamputasi" dengan cara mengeluarkan SKB. Cara ini menunjukkan bahwa pemerintah tak mengayomi warga negaranya dengan memberi mereka ruang dan hak yang sama.