IDE membangun perpustakaan megah di kompleks Dewan Perwakilan Rakyat bukanlah langkah tepat untuk menumbuhkan budaya baca dan meningkatkan proses menjadi cendekia di kalangan anggota parlemen. Dengan minat baca yang minim, perpustakaan itu-yang digadang-gadang menjadi perpustakaan terbesar di Asia Tenggara-bisa jadi tetap sepi karena wakil rakyat tak banyak mengunjunginya.
Sudah menjadi pengetahuan publik bahwa anggota Dewan malas memanfaatkan perpustakaan sebagai sumber pengetahuan dan tempat mencari informasi. Perpustakaan yang saat ini ada pun jarang mereka datangi. Untuk mendukung kerja sehari-sehari, anggota parlemen lebih banyak mengandalkan tenaga ahli. Kehadiran perpustakaan dengan bujet Rp 570 miliar tak serta-merta akan meningkatkan kegemaran membaca di kalangan anggota Dewan.
Kalaupun nantinya dibuka untuk publik, kehadiran perpustakaan megah itu akan jadi proyek sia-sia karena minat baca masyarakat juga masih rendah. Hasil penelitian United Nations Development Programme (UNDP) menyebutkan hanya satu dari seribu penduduk Indonesia memiliki minat membaca. Tak mengherankan bila studi yang dilakukan John Miller dari Central Connecticut State University, Amerika Serikat, menempatkan Indonesia pada peringkat kedua dari bawah untuk urusan membaca. Di antara 61 negara, posisi Indonesia hanya satu tingkat lebih baik dibanding Botswana.
Ketimbang repot-repot membangun perpustakaan megah seperti National Library di Singapura atau Library of Congress di Amerika Serikat, alangkah baiknya bila para wakil rakyat memaksimalkan perpustakaan yang sudah ada. Agar perpustakaan bisa diakses banyak orang, biro urusan rumah tangga DPR harus mulai mengkonversi buku kumuh yang dibiarkan teronggok di perpustakaan menjadi buku digital.
Di era kemajuan teknologi, keterbatasan koleksi buku di perpustakaan lama DPR-seperti yang dikeluhkan anggota Dewan-bisa disiasati dengan menyediakan perpustakaan digital yang bisa diakses kapan saja dan dari mana saja. Cara ini jauh lebih murah dan efektif ketimbang membangun perpustakaan megah.
Kehadiran perpustakaan digital di DKI Jakarta, misalnya, membantu pelajar dan warga Ibu Kota mengakses buku-buku pelajaran, sejarah, dan buku populer. Dengan nama iJakarta, aplikasi perpustakaan digital ini memiliki koleksi 10 ribu buku yang bisa diunduh gratis melalui AppStore dan GooglePlay. Koleksi buku iJakarta bisa dibaca kapan saja sesuai dengan batas waktu peminjaman.
Anggota Dewan semestinya merumuskan undang-undang yang mendorong penyebaran perpustakaan ke sejumlah daerah. Kehadiran perpustakaan di daerah dengan koleksi buku beragam jauh lebih bermanfaat bagi penyebaran ilmu pengetahuan dan informasi. Apalagi perpustakaan itu dilengkapi dengan perbaikan fasilitas online, salah satunya menyediakan buku digital. Langkah ini lebih penting daripada sekadar membangun perpustakaan megah di Ibu Kota, apalagi di kompleks parlemen.