Kalau boleh berterus-terang, saya ingin menghindar ketika Romo Imam mengajak saya ngobrol soal Partai Keadilan Sejahtera. Partai ini sedang dirundung masalah, seharusnya kita berempati. Saya kasihan melihat kenyataan ini. Banyak teman saya kader partai itu, kata saya.
Romo Imam mengangguk seperti memaklumi. Apa yang salah? tanya dia, seperti tak butuh jawaban. Tapi saya menjawab: Mungkin masalah takdir, kalau kita percaya adanya takdir. Mungkin hukuman dari langit, kalau kita percaya ada kekuasaan di atas sana. Kemunculan partai ini mengusung slogan sangat mulia: partai yang bersih. Slogan itu kemudian dikampanyekan secara luas, termasuk di jalan-jalan. Kesannya jadi jumawa dan takabur, seolah-olah yang lain semua kotor. Padahal soal bersih, jujur, berakhlak, dan sebagainya menjadi penilaian orang luar, bukan kita yang mengumbarnya.
Sekarang semuanya terjungkir, saya melanjutkan. Elite partai digugat karena dituduh menyelewengkan uang. Ada bisnis tak wajar yang melibatkan partai. Bersama partai koalisi juga terjadi masalah. Kalau semua ini terbukti, lalu apanya yang bersih?
Dan kadernya membuka situs porno saat sidang paripurna, Romo Imam memotong pembicaraan saya. Saya tertawa, tapi bernada prihatin. Itu sebenarnya mau saya sembunyikan, saya kira Romo belum tahu. Ya, ini tragedi, sebuah partai yang mendukung undang-undang pornografi meskipun undang-undang itu salah menafsirkan pornografi dari sisi budaya, ternyata kadernya membuka situs porno. Dalam sidang terhormat pula, sidang pariporno, eh maaf, sidang paripurna.
Romo mengambil koran. Kader partai itu, Arifinto, tidak sengaja membuka tautan e-mail. Dan hanya hitungan detik, langsung dia hapus gambar porno itu. Tapi Irfan, wartawan yang memotret, melihat Arifinto memelototi sekitar semenit sebelum memilih-milih gambar. Mana yang betul?
Saya tersenyum. Bukan karena saya wartawan lalu membela fotografer. Anak kecil pun tahu, memotret membutuhkan waktu, mengangkat kamera, memutar lensa supaya fokus, mencari sudut pandang, lalu menjepret. Bahkan, sebelum mengangkat kamera, sasaran harus dicari. Mustahil Irfan menyiapkan sasaran lebih dulu seolah-olah tahu ada anggota DPR yang akan membuka situs porno. Saya kira Irfan bukan malaikat dan tidak mendapat wangsit untuk memotret sesuatu yang membuat aib itu. Ini masalah kejelian dan gerak cepat. Tapi, secepat-cepatnya gerakan seorang fotografer, hitungannya bukan detik.
Romo Imam menghela napas. Sebaiknya Arifinto jujur, setiap orang punya hari sial. Saya mengangguk dan menambahi: Dengan jujur dan niat yang bersih, kasus ini bisa jadi pelajaran buat para wakil rakyat. Ya, siapa tahu nanti ada kode etik, saat sidang paripurna semua handphone dimatikan, tak boleh membawa koran, tak boleh anggota ngobrol saat orang lain bicara, apalagi yang bicara itu tamu. Semuanya harus tertib, tak boleh seperti murid taman kanak-kanak.
Setuju, kata Romo. Sidang paripurna sering diliput media elektronik. Seharusnya sidang itu menjadi terhormat karena akan dijadikan contoh di daerah. Sekarang ini rapat adat di pedesaan sering ricuh, semuanya berebut bicara, konon itu meniru sidang paripurna parlemen. Sudah saatnya wakil rakyat memberi teladan yang baik bagaimana menggelar paripurna, jangan menjadi pariporno.
Saya tertawa. Setelah semua kebobrokan ini diumbar, ada yang mau introspeksi dan memperbaiki diri, termasuk para elite partai seyogianya lebih santun dan tidak gembar-gembor bilang diri paling bersih dan paling jujur.