Djoko Subinarto, Penulis
Pemberantasan korupsi menjadi kunci penting bagi peningkatan arus investasi di Indonesia.
Presiden Joko Widodo telah meminta agar syarat memiliki kemampuan berbahasa Indonesia untuk para tenaga kerja asing (TKA) dihapus. Harapannya, investasi di Indonesia akan terdongkrak oleh penghapusan syarat kemampuan berbahasa Indonesia untuk para TKA tersebut.
Sebagaimana kita ketahui, dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 12 Tahun 2013, Pasal 26 ayat 1, dinyatakan bahwa tenaga kerja asing harus dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.
Maksud peraturan Menteri Tenaga Kerja itu tentu baik. Lewat medium bahasa, kita mesti berani menunjukkan kedaulatan kita dan sekaligus melindungi para tenaga kerja kita. Warga negara asing yang hendak bekerja di sini sudah seharusnya adalah mereka yang menguasai bahasa Indonesia dengan baik, dan bukan sebaliknya malah kita, sebagai tuan rumah, yang dituntut untuk mengikuti bahasa mereka.
Untuk kepentingan tersebut, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, bekerja sama dengan Lembaga Pengembangan Bahasa Universitas Indonesia dan Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja, telah memiliki perangkat uji kompetensi bahasa Indonesia (UKBI) berdasar metode TOIFL (Test of Indonesian as Foreign Language) untuk para TKA yang hendak bekerja di Indonesia. Para calon TKA yang hendak bekerja di Indonesia wajib terlebih dulu mengikuti ujian TOIFL.
Maka, permintaan Presiden Joko Widodo agar syarat memiliki kemampuan berbahasa Indonesia untuk para TKA dihapus layak kita pertanyakan. Mengapa? Selain merendahkan martabat bangsa dengan menggadaikan kedaulatan bahasa dan kedaulatan ketenagakerjaan kita, penghapusan syarat kemampuan berbahasa Indonesia bagi para TKA ini toh tidak memiliki dampak langsung terhadap iklim investasi.
Pasalnya, yang sangat berpengaruh langsung bagi naik-turunnya arus investasi itu salah satunya adalah tingkat korupsi. Ratusan penelitian yang dilakukan di berbagai negara menyimpulkan bahwa korupsi berdampak negatif terhadap investasi dan perdagangan, mengurangi pertumbuhan ekonomi, serta menciptakan distorsi dalam pengeluaran anggaran pemerintah untuk sektor publik, yang pada gilirannya dapat menaikkan tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan masyarakat.
Dan khusus untuk negara-negara yang sedang berkembang, korupsi juga menjadi penghambat utama bagi sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Menurut Corruption Watch International--lembaga nirlaba yang berbasis di Braamfontein, Afrika Selatan--akibat praktek korupsi, sektor UMKM harus mengeluarkan biaya operasional dua hingga tiga kali lipat dari biaya yang semestinya, sehingga membatasi kemampuan sektor ini untuk tumbuh dan membuka lapangan kerja.
Jadi, apabila pemerintah Presiden Joko Widodo ingin arus investasi ke Indonesia terus meningkat dengan signifikan, yang perlu diprioritaskan itu salah satunya adalah penghapusan praktek korupsi di semua lini kehidupan bangsa ini, dan bukan penghapusan aturan mengenai kewajiban para TKA untuk memiliki kemampuan berbahasa Indonesia.*