Pembubaran pameran seni dan pertunjukan musik bertajuk "LadyFast" di Yogyakarta pada Sabtu malam lalu lagi-lagi semakin menunjukkan tak berdayanya negara menghadapi kelompok intoleran ini.
Tudingan terhadap panitia, yang disebut sebagai komunis serta mempromosikan perilaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) melalui acara dan diskusi itu, merupakan kesewenang-wenangan sekaligus tak berdasar. Tindakan intimidasi dan kekerasan verbal yang menyertai tindakan sewenang-wenang sekelompok orang yang mengatasnamakan organisasi Islam itu semestinya ditindak tegas.
Untuk kesekian kalinya kita melihat betapa lemahnya polisi dan hilangnya wibawa pemerintah setempat menghadapi intoleransi yang semakin merisaukan. Kota yang menyandang status istimewa dan kerap menjadi kiblat budaya luhur itu seolah tak berdaya melindungi hak warganya dari agresivitas sekelompok kecil orang yang merusak prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
Pernyataan dan tindakan kepolisian yang cenderung menyalahkan penyelenggara kegiatan pun sangat aneh dan keliru. Bukannya mencegah kekerasan dan kebrutalan mereka yang hendak membubarkan acara, polisi justru membawa beberapa panitia untuk diperiksa.
Sikap aparat keamanan itu jelas bertolak belakang dengan perintah Presiden Joko Widodo yang baru saja disampaikan pada Kamis pekan lalu. Melalui Sekretaris Kabinet, Presiden menyatakan menaruh perhatian khusus pada merebaknya sikap intoleran di berbagai daerah belakangan ini. Keprihatinan itu pulalah yang mendasari perintah Presiden terhadap Kepolisian RI untuk bersikap lebih tegas terhadap kelompok-kelompok yang hendak merusak toleransi dengan cara melarang aktivitas kelompok lain.
Pernyataan Presiden itu muncul menanggapi pembubaran konferensi pers Panitia Festival Belok Kiri di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, oleh kepolisian. Polisi beralasan, tindakan itu diambil karena mereka menerima laporan bahwa sejumlah organisasi massa akan membubarkan secara paksa acara itu. Alasan mereka-yang juga terdengar ganjil dan tentu saja tak berbukti-adalah acara tersebut mengandung unsur komunisme, sehingga tak boleh berlangsung.
Banyak lagi kasus serupa di berbagai kota bisa disebut. Tapi khusus di Yogyakarta lebih memprihatinkan. Februari lalu, misalnya, polisi dan pemerintah daerah juga membiarkan kelompok yang menyebut dirinya Front Jihad Islam memaksa menutup Pondok Pesantren Al-Fatah di Bantul, yang dihuni sejumlah waria. Bukannya membela warganya, camat setempat malah mendukung penutupan itu dengan alasan pesantren tersebut tak berizin dan bertentangan dengan nilai-nilai Islami.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta mencatat, sepanjang 2011-2015, sedikitnya terjadi 13 peristiwa pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di kota ini. Kenyataan ini amat memprihatinkan sekaligus memalukan. Pemerintah semestinya menindak keras kelompok-kelompok yang menyebarkan intoleransi itu.