Penyebab kematian Siyono harus segera dibuat terang-benderang. Kepolisian tak usah ngotot dengan penjelasan bahwa Siyono meninggal akibat perdarahan di rongga otak. Penjelasan itu sulit dipercaya setelah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia membeberkan hasil autopsi jenazah Siyono.
Detasemen Khusus 88 Antiteror menangkap Siyono pada awal Maret lalu. Polisi menuduh dia sebagai kepala gudang senjata jaringan teroris Jamaah Islamiyah. Empat hari kemudian, Siyono "pulang" ke keluarga di Klaten tanpa nyawa. Menurut polisi, Siyono mencoba kabur dalam perjalanan menuju penyimpanan senjata di sekitar Candi Prambanan. Kepala Siyono terbentur benda tumpul ketika berkelahi dengan aparat pengawal.
Sebaliknya, hasil autopsi menunjukkan bahwa kematian Siyono akibat patahan tulang iga yang menusuk saraf jantung. Memang, kepala Siyono pun luka lebam. Tapi otaknya masih putih tanpa bekas perdarahan. Tak ada pula bekas luka yang menunjukkan Siyono pernah melawan aparat.
Kapan persisnya Siyono mengalami kekerasan perlu diungkap. Bila hal itu terjadi sewaktu interogasi, polisi harus mengakuinya sebagai kesalahan. Menyiksa untuk memperoleh pengakuan adalah cara primitif yang tak boleh dipertahankan. Itu hanya menunjukkan kemalasan aparat dalam mencari bukti kejahatan.
Hukum acara pidana kita melarang penggunaan kekerasan selama pemeriksaan. Pasal 52 KUHAP menegaskan, tersangka atau terdakwa berhak menyampaikan keterangan secara bebas alias tanpa tekanan. Ketentuan ini berlaku dalam semua kasus, termasuk kejahatan luar biasa, seperti terorisme dan narkotik.
Di negara yang menghormati hak asasi manusia, penyiksaan selama interogasi seharusnya tak mendapat tempat. Pada 1998, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti-Penyiksaan (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment). Konsekuensinya, pemerintah harus mencegah praktek penyiksaan dalam bentuk apa pun. Faktanya, Institute for Criminal Justice Reform mencatat, selama 2014, sedikitnya ada 36 kasus dugaan penyiksaan dalam interogasi. Enam kasus di antaranya berujung kematian.
Terdakwa korban penyiksaan memang bisa mencabut pengakuan di depan hakim. Namun, pada banyak kasus, hakim hanya melihat pencabutan pengakuan sebagai jurus terdakwa membebaskan diri. Nyaris tak pernah ada penyiksa yang dimintai pertanggungjawaban. Kalaupun ada yang diusut, umumnya hanya dianggap melanggar disiplin atau etika profesi.
Agar penyiksaan tak berulang, profesionalisme penyidikterutama dalam menghimpun bukti kejahatanmesti ditingkatkan, sehingga mereka tak bertumpu pada pengakuan yang didapat dengan menyiksa terdakwa. Agar kejadian seperti ini tak terus berulang, sudah waktunya ada lembaga yang mengawasi penyelidikan dan penyidikan. Untuk itu, gagasan tentang hakim komisaris atau hakim pemeriksa pendahuluanseperti tercantum dalam rancangan revisi KUHAPperlu segera direalisasi.