Ketidakpastian hukum berpotensi terjadi jika putusan hakim Ferdinandus yang memenangkan gugatan praperadilan La Nyalla Mattalitti dibiarkan begitu saja. Putusan itu mengandung kejanggalan karena memasukkan pokok perkara yang menjadi kewenangan hakim pengadilan.
Dengan kata lain, langkah Ferdinandus itu sudah melampaui kewenangan hakim praperadilan. Selayaknya Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung memeriksa putusan tersebut dan mengambil tindakan setimpal.
Ferdinandus merupakan hakim tunggal dalam gugatan praperadilan yang diajukan Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur, La Nyalla Mattalitti, di Pengadilan Negeri Surabaya. Gugatan diajukan setelah La Nyalla dinyatakan sebagai tersangka kasus korupsi dana hibah kepada organisasi Kadin Jawa Timur, 16 Maret lalu. Gugatan itu diluncurkan dalam status dia sebagai buron di luar negeri. Ketua Umum PSSI ini kabur ke Malaysia, lalu Singapura, sebelum dicekal oleh Imigrasi.
Dugaan korupsi itu terjadi pada 2011-2014, ketika Kadin Jawa Timur mendapat dana hibah dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebesar Rp 48 miliar. Penyidik Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menemukan transfer haram senilai Rp 5,3 miliar dari rekening Kadin di Bank Jatim Cabang Utama Surabaya ke rekening pribadi La Nyalla. Uang itu ternyata digunakan membeli saham perdana Bank Jatim.
Dalam putusannya, Ferdinandus menyatakan bukti yang diajukan Kejaksaan tidak sah karena sudah digunakan untuk penuntutan dua pejabat Kadin Jawa Timur lainnya. Selain itu, hakim menyatakan tidak ada kerugian negara karena dana sudah dikembalikan sebelum putusan dibacakan. Kedua hal tersebut jelas merupakan pokok perkara yang tidak bisa disentuh hakim praperadilan. Yang berwenang menentukan absah-tidaknya barang bukti, juga ada atau tidak kerugian negara, adalah hakim pengadilan.
Aturan kewenangan hakim praperadilan tercantum dalam Pasal 1 dan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Di sana disebutkan, kewenangan yang dimiliki adalah memutus sah-tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan. Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian memperluas lingkup kewenangan itu mencakup sah-tidaknya penetapan tersangka. Sama sekali tidak disebutkan hakim bisa memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan pokok perkara.
Atas dasar itu, cukup kuat landasan bagi Komisi Yudisial memeriksa putusan janggal hakim Ferdinandus dan merumuskan rekomendasi untuk diserahkan ke MA, yang akan mengambil tindakan. Langkah ini diperlukan untuk kepastian hukum dalam perjuangan melawan korupsi.
Sudah menjadi "modus" bahwa jalur praperadilan digunakan para tersangka korupsi untuk lolos dari jerat hukum. Mereka yang berhasil menempuh jalur ini, antara lain, adalah Komjen Polisi Budi Gunawan dan mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin. Perlawanan semacam itu harus ditundukkan.