Tertangkapnya Samadikun Hartono mempunyai arti penting dalam penegakan hukum di Indonesia. Penangkapan mantan Komisaris Utama PT Bank Modern itu penting bukan sekadar berkaitan dengan kasusnya-penggelapan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 169 miliar-tapi juga penegakan hukum terhadap para pelaku tindak pidana yang kabur ke luar negeri.
Saat krisis moneter 1998, Bank Modern milik Samadikun mendapat dana talangan dari Bank Indonesia senilai Rp 2,557 triliun. Alih-alih untuk menyehatkan bank tersebut, dana itu diselewengkan dan mengakibatkan negara rugi Rp 170 miliar. Mahkamah Agung menyatakan Samadikun bersalah dan memvonisnya 4 tahun penjara. Tapi, menjelang eksekusi pada 2003, dia kabur ke luar negeri hingga kemudian tertangkap pekan lalu di Shanghai, Cina.
Samadikun bukan satu-satunya penilap BLBI yang kabur. Sedikitnya ada 45 orang pemilik bank yang melarikan diri setelah menyikat dana BLBI, yang membuat negara rugi hampir Rp 600 triliun. Di antara mereka yang belum tertangkap adalah Direktur Bank BHS, Eko Adi Putranto, yang menggangsir Rp 2,7 triliun; dan Direktur Bank Surya, Bambang Sutrisna, yang menilap Rp 1,5 triliun.
Pencurian uang negara yang mereka lakukan tersebut membuat ekonomi Indonesia terpuruk. Negeri ini terjebak dalam krisis ekonomi, sosial, dan politik berkepanjangan. Aparat kesulitan menangkap mereka karena, selain berpindah-pindah dan berganti identitas, mereka acap terlindungi sistem hukum negara tempat mereka ngumpet.
Karena itu, penangkapan Samadikun harus dianggap sebagai pesan yang jelas buat semua penggangsir dana BLBIjuga koruptor yang menjadi burontak ada gunanya kabur dari jerat hukum di Indonesia. Selama mereka menyandang status buron, penegakan hukum tetap dilakukan.
Kepolisian, Kejaksaan, maupun Kementerian Luar Negeri harus meningkatkan upaya menangkap para koruptor di luar negeri. Salah satu caranya: mempererat kerja sama dan menandatangani perjanjian ekstradisi dengan banyak negara. Perjanjian itu penting karena, seperti dinyatakan Kepala Kepolisian RI Badrodin Haiti, banyak negara yang tidak mau membantu Indonesia dalam menangkap para buron tersebut.
Kejaksaan Agung juga harus mengaktifkan kembali kerja Tim Pengkaji BLBI, yang salah satu tugasnya menangani kasus penerimaan BLBI oleh Sjamsul Nursalim. Pada 2004, bos Bank Dagang Negara Indonesia ini telah mendapatkan surat lunas untuk BLBI sebesar Rp 27 triliun. Namun ada tuduhan korupsi di balik pemberian surat lunas tersebut.
Kerja Tim Pengkaji itu redup setelah KPK menangkap bekas Jaksa Urip Tri Gunawan karena menerima suap dari Artalyta Suryani, yang diduga ingin mengamankan kasus tersebut. Pengaktifan kembali tim tersebut dan pengejaran para buron lain akan menjadi bukti bahwa negara ini tidak lupa pada kasus yang menyebabkan ekonomi kita terbenam pada dua dasawarsa silam itu.