Kepala desa di kampung saya baik sekali. Baru-baru ini saya ditawari SKM, surat yang katanya sangat sakti. Apa itu? Surat keterangan miskin.
Sudah banyak orang di kampung saya yang mengantongi surat itu. Kaum ini dianggap sudah tidak mampu mencari nafkah. Sejatinya surat itu memang bernama "surat keterangan tidak mampu", tapi karena dulu populer bernama "surat keterangan miskin", tetap saja disebut SKM.
Tentu saya kaget, kenapa saya diberi SKM. Alasannya, saya sudah kembali ke desa. Usia 60 tahun lewat beberapa hari. Bercocok tanam di kebun tidak bisa, maklum datang dari kota. Berdagang tidak boleh karena berstatus "pelayan umat". Jadi tak ada penghasilan tetap. Pemegang SKM mendapat berbagai kemudahan: gratis berobat meskipun sampai dirawat inap di rumah sakit. Dapat jatah raskin, ini singkatan dari beras untuk kaum miskin. Dapat BLT (bantuan langsung tunai) kalau ada programnya.
Saya bilang, bukankah saya masih punya mobil bekas, bagaimana bisa digolongkan miskin? Kepala Desa tertawa. Pemegang SKM lain ada juga yang punya mobil bekas, sepeda motor, telepon seluler, itu tak jadi masalah. Justru karena punya mobil, perlu dibekali surat keterangan tidak mampu, karena tak mampu membeli mobil baru, tak mampu memiliki deposito, tak mampu hidup foya-foya.
"Kalau membeli Premium, tunjukkan surat itu, jadi tidak berdosa kepada siapa pun. Juga taat pada seruan pemerintah, Bapak kan jadi panutan umat," kata Kepala Desa. Dia menjelaskan, di setiap stasiun pengisian bahan bakar umum sudah ada spanduk yang meminta orang yang mampu jangan membeli bahan bakar minyak bersubsidi. Meski bahasanya masih samar-samar untuk rakyat desa, maksud pemerintah itu Premium. Orang mampu harus membeli Pertamax, jangan merebut hak orang tak mampu. Nah, jika saya punya SKM dan ditunjukkan kepada petugas di pompa bensin, saya dianggap tetap mematuhi pemerintah.
Ada majelis agama yang sudah memberi predikat berdosa untuk orang mampu yang tetap membeli Premium. "Kalau sopir Bapak masih membeli Premium, sementara Bapak ikut di mobil itu, wah, Bapak berdosa sekali. Kalau Bapak sampai berdosa, bagaimana dengan umat? Jadi Bapak harus berposisi sebagai orang tak mampu supaya tidak berdosa," kata Kepala Desa.
"Apalagi kalau sampai Premium diharamkan untuk orang mampu, ini lebih celaka lagi," ujar Kepala Desa. Saya menjawab, "Kalaupun nanti terbit fatwa haram, itu kan untuk kaum muslim, nonmuslim tak kenal haram." Kepala Desa tertawa, "Petugas SBPU kan tak pernah menanyakan agama kepada pembeli Premium. Kalau mereka mengira Bapak seorang muslim, kan dalam hati mereka sudah menyebut: ini pembeli haram. Bapak sudah disumpahin dalam hati."
Saya puji kepintaran kepala desa ini. Saya pun ikut heran, kenapa urusan membeli Premium saja harus melibatkan lembaga agama, bahkan membawa-bawa label dosa segala. Kalau urusan sepele begini masih menggunakan label agama tertentu--meskipun agama itu pemeluknya mayoritas--bagaimana kita berbicara tentang negara kesatuan yang ber-Bhinneka Tunggal Ika? Syukur fatwa haram itu batal.
"Masih banyak formulir surat keterangan tidak mampu?" tanya saya kemudian. Kepala Desa cepat mengangguk. Saya melanjutkan: buatlah surat keterangan tidak mampu kepada Presiden, menteri, lembaga tinggi negara, penegak hukum, dan banyak instansi lainnya. Merekalah yang tidak mampu mengatasi lonjakan subsidi BBM, tak mampu mengurusi kesejahteraan rakyat, tak mampu menangkap Nunun dan Nazaruddin, tak mampu melindungi warga negaranya, bahkan tak mampu melaksanakan apa yang selalu dipidatokannya.
Kepala Desa melongo.