Khudori, Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-sekarang)
Kata penimbun mencuat seiring dengan langkah Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyelidiki dugaan adanya ulah culas perusahaan penggemukan sapi (feedloter). Sapi siap potong yang mestinya dikirim ke rumah pemotongan hewan justru ditahan. Pasar daging sapi akhirnya kekurangan pasokan. Sesuai dengan hukum besi supply-demand, harga pun melenting. Harga daging sapi melonjak dari Rp100 ribu menjadi Rp130 ribu per kilogram.
Dalam ranah hukum, penimbunan merupakan delik baru. Baik dalam Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 maupun UU Perdagangan Nomor 7 Tahun 2014, belum ada definisi penimbunan. Pada Pasal 52-53 UU Pangan, selain diatur soal mekanisme, tata cara, dan jumlah maksimal penyimpanan pangan pokok oleh pelaku usaha pangan, ada larangan bagi pelaku usaha untuk menimbun atau menyimpan pangan pokok melebihi jumlah maksimal. Pasal 29 UU Perdagangan juga melarang pelaku usaha menyimpan barang kebutuhan pokok dan barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan. Namun masih belum jelas apa makna penimbunan sebenarnya.
Definisi penimbunan terang-benderang setelah terbit Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang penetapan dan penyimpanan barang kebutuhan pokok dan barang penting (bapokting). Dalam Pasal 11 ayat 2, disebutkan bahwa menimbun adalah menyimpan dalam jumlah di luar batas kewajaran yang melebihi stok atau persediaan barang berjalan untuk memenuhi pasar dengan waktu paling lama tiga bulan berdasarkan catatan rata-rata penjualan per bulan dalam kondisi normal. Pelaku usaha dikecualikan dari delik penimbunan bila bapokting yang disimpan dipakai sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam proses produksi atau sebagai persediaan barang untuk didistribusikan. Dengan delik yang jelas ini, aparat penegak hukum semestinya tak perlu ragu-ragu lagi menyeret penimbun ke meja hijau.
Penimbun layak diganjar dengan sanksi berat agar ada efek jera. Ulah mereka tidak hanya menyengsarakan konsumen, tapi juga produsen. Tanpa efek jera, penimbunan akan terus berulang. Ini terjadi karena kue dari hasil menimbun amat gurih. Ekonomi rente impor daging memang menggiurkan. Harga daging sapi (Australia dan Brasil) di pasar dunia pada Juli 2015 mencapai US$ 4,3-4,8 per kilogram, sesuai dengan kualitasnya. Angka itu masih ditambah biaya angkutan, bea masuk, asuransi, dan bongkar-muat barang di pelabuhan Indonesia hingga US$5,7 per kilogram (Rp79.515 per kg, kurs Rp13.950 per dolar AS). Harga eceran daging di pasar saat ini adalah Rp 120-130 ribu per kg. Meski harus dikurangi biaya distribusi, cold storage, dan biaya lainnya, margin keuntunga yang didapat masih amat besar. Siapa pun akan ngiler melihat rezeki nomplok ini.
Impor sapi bakalan juga menjanjikan keuntungan besar. Saat ini, harga sapi hidup di Australia hanya Rp 20 ribu per kg. Belakangan, harga di pasar dunia naik US$1-2 per kg karena Brasil dan Amerika Serikat, pemasok sapi bakalan dan sapi potong dunia, menahan stok mereka. Harga sapi hidup juga didorong oleh kenaikan harga pakan, terutama dedak gandum, dedak padi, jagung, dan ampas singkong, sejak Juli 2015. Di Indonesia, karena tak ada breeding farm profesional berskala besar, harga sapi hidup mencapai Rp 38 ribu per kg (Rahardi, 2015). Bahkan, setelah Idul Fitri, harga mencapai Rp 45 ribu per kg, yang membuat pedagang mogok berjualan. Pedagang mogok karena feedloter "menimbun" atau menaikkan harga secara sepihak. *