Kesepakatan Panitia Kerja Komisi Hukum memperberat syarat pencalonan kepala daerah dari jalur independen menunjukkan kekerdilan cara berpikir para wakil rakyat. Hal ini sama dengan Komisi Pemilihan Umum yang sempat memiliki gagasan adanya syarat tanda tangan di atas meterai--bukan sekadar kartu tanda penduduk--bagi mereka yang mendukung calon independen. Publik bisa menduga semua aturan tersebut tak lebih merupakan upaya menjegal para calon independen.
Rabu lalu, kesepakatan itu diketuk Panitia Kerja DPR yang membahas revisi Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Dengan demikian, DPR tinggal menunggu pendapat pemerintah. Jika pemerintah setuju, peluang calon independen mengikuti pemilihan kepala daerah semakin sulit. Di sini, yang rugi tentu saja masyarakat, mereka yang rindu munculnya pemimpin daerah berkualitas.
Ihwal calon dari jalur independen awalnya terdapat pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ketika itu, calon independen ditentukan hanya di Aceh. Empat tahun kemudian, lewat UU No.12/2008 tentang Pemerintahan Daerah, calon independen terbuka untuk seluruh daerah. UU No. 32/2004 mengatur bahwa calon perseorangan dapat mendaftar sebagai pasangan calon gubernur jika didukung setidaknya 6,5 persen jumlah penduduk untuk provinsi yang populasinya sampai 2 juta jiwa. Untuk calon bupati atau wali kota di daerah yang berpenduduk sampai 250 ribu jiwa, wajib didukung minimal 6,5 persen jumlah penduduk.
Aturan itu lalu diubah lewat UU No. 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Syarat dukungan calon independen dinaikkan menjadi 10 persen jumlah penduduk, sedangkan untuk calon bupati atau wali kota dengan jumlah penduduk sampai 250 ribu harus didukung minimal 6,5 persen jumlah penduduk. Ketentuan ini digugat ke Mahkamah Konstitusi pada 2015. Hasilnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa syarat dukungan tidak berdasarkan jumlah penduduk, melainkan daftar pemilih tetap pemilu sebelumnya.
Kini DPR bersemangat menaikkan lagi syarat tersebut. Mereka mengusulkan dua alternatif, yakni calon independen harus mendapat dukungan minimal 11,5-15 persen jumlah penduduk, atau didukung minimal 10 persen jumlah penduduk. Dua alternatif itu sesungguhnya sama-sama berat. Di sini jelas aturan tersebut, yang muncul di tengah maraknya suara-suara masyarakat yang mendukung calon independen seperti Basuki Tjahaja Purnama, misalnya, tak lebih dari ketakutan partai politik bahwa calon mereka akan kalah.
Kita berharap pemerintah menolak syarat yang disetujui Panitia Kerja Revisi Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota itu. Disetujuinya aturan tersebut tidak hanya akan menenggelamkan harapan rakyat akan munculnya kepala daerah yang berintegritas, tapi juga melanggengkan "tradisi" terpilihnya kepala daerah yang tak memiliki visi dan misi apa pun untuk daerahnya selain hanya memupuk kekayaan dengan cara menyimpang--perilaku yang membuat banyak di antaranya kini mendekam di penjara.