Upaya Indonesia mengajak Filipina dan Malaysia bertemu pada 5 Mei mendatang membahas krisis penyanderaan merupakan langkah tepat. Bahkan hal ini semestinya dilakukan jauh hari sebelumnya. Krisis penyanderaan oleh kelompok Abu Sayyaf yang bermarkas di wilayah Filipina belum berakhir. Malaysia juga perlu diajak bicara karena warga mereka ikut jadi sandera.
Warga Indonesia menjadi korban dua kali aksi penyanderaan yang berlangsung dalam rentang waktu tak sampai sebulan. Total 14 warga Indonesia masih disandera sampai sekarang. Mereka adalah bagian dari korban asal berbagai negara yang sebelumnya sudah menjadi sandera kelompok Abu Sayyaf dan afiliasinya. Kelompok yang memperjuangkan kemerdekaan dari Filipina ini beroperasi di selatan negeri itu, termasuk di perairan perbatasan dengan Indonesia.
Keamanan wilayah, termasuk perairan, di sebelah timur Pulau Kalimantan ini memang rawan. Itu sebabnya, setelah terjadi penyanderaan, pemerintah Indonesia melarang kapal dan tongkang melewati perairan berbahaya tersebut, kecuali dengan kawalan Angkatan Laut Filipina. Larangan ini tidak tepat. Dengan langkah itu, pemerintah Indonesia seperti takut terhadap tekanan teroris.
Melarang kapal Indonesia-umumnya membawa batu bara-melintas juga merugikan secara ekonomi. Devisa dari sektor batu bara akan terganggu. Ada potensi kerugian sebesar US$ 10 juta (sekitar Rp 132 miliar) sebulan jika larangan ini berlangsung lama. Filipina pun ikut dirugikan. Pembangkit listrik mereka memerlukan batu bara.
Ketimbang melarang kapal-kapal dagang melintas, lebih baik dalam perundingan dengan Filipina dan Malaysia nanti Indonesia mengusulkan langkah lebih konkret. Upaya ini perlu karena, sebetulnya, selama ini Indonesia sudah menjalin kerja sama bilateral penjagaan perbatasan dengan Filipina. Kerja sama serupa dengan Malaysia untuk perairan Selat Malaka-juga rawan pembajakan-juga sudah ada.
Bahkan pada forum lebih tinggi, di tingkat ASEAN, kerja sama serupa sudah diteken. Masalahnya, perjanjian itu lebih banyak "di atas kertas". Ketika situasi krisis terjadi seperti sekarang, respons cepat sulit dilakukan. Inilah yang perlu diatasi.
Indonesia dan Filipina perlu merumuskan reaksi cepat apa yang bisa dilakukan tanpa harus mencederai kedaulatan masing-masing jika krisis terjadi. Dalam jangka pendek ini, paling tidak kedua negara bisa merumuskan operasi bersama pengamanan perbatasan dan pembebasan sandera.
Dalam jangka panjang, Indonesia, Filipina, dan Malaysia bisa merancang kerja sama keamanan yang lebih permanen. Kerja sama ini mesti sudah dibekali panduan konkret untuk menggerakkan operasi bersama. Jika perjanjian bisa dirumuskan dengan detail, saat terjadi krisis, masing-masing negara sudah tahu apa yang harus dilakukan. Tak perlu membiarkan proses penyanderaan berlarut-larut.