Jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi semestinya menuntut standar etika paling tinggi. Karena itu, putusan Dewan Etik yang hanya memberikan sanksi teguran lisan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat yang mengeluarkan "surat sakti" sangatlah ironis.
Pembentukan Dewan Etik pun lebih terkesan hanya basa-basi. Padahal pelanggaran yang dilakukan Ketua Mahkamah Konstitusi sedemikian telanjang. Arief mengirim surat tertulis menggunakan kop surat Ketua Mahkamah Konstitusi, yang ditujukan kepada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Widyo Pramono.
Arief menggunakan simbol Mahkamah Konstitusi untuk "masalah keluarga" pada Januari lalu. Ia meminta Widyo memberikan perlakuan khusus kepada jaksa di Kejaksaan Negeri Trenggalek, Muhammad Zainur Rochman. Sang Ketua menyebutkan bahwa Zainur adalah salah satu kerabatnya.
Dewan Etik Mahkamah Konstitusi merespons gugatan publik tentang katebelece itu. Dipimpin mantan hakim konstitusi Abdul Mukthie Fadjar, Dewan Etik beranggotakan Hatta Mustafa dan Muchammad Zaidun. Ternyata mereka tidak menganggap katebelece itu sebagai pelanggaran etik yang serius.
Benar bahwa Jaksa Agung Muda Widyo mengklaim tidak menerima surat sakti itu. Namun tidak berarti penerbitan katebelece itu bukan sebuah pelanggaran. Permintaan yang tak ada hubungannya dengan urusan pekerjaan dari pejabat selevel Ketua Mahkamah Konstitusi sangat tidak patut.
Permintaan sekecil apa pun bisa masuk kategori penyalahgunaan kekuasaan. Reformasi telah menabalkan nepotisme sebagai praktek gelap utama pada masa lalu yang harus dihapuskan, bersama korupsi dan kolusi. Ironis karena hal itu justru masih dilakukan Ketua Mahkamah Konstitusi, lembaga yang merupakan produk reformasi.
Ironis pula karena Dewan Etik bentukan Mahkamah Konstitusi tidak menganggap hal itu sebagai persoalan berat. Mereka menyatakan Arief hanya melanggar asas kepantasan dan kesopanan. Walhasil, sanksi untuk pelanggaran ini cukuplah teguran lisan.
Sebelum menduduki jabatannya, Ketua Mahkamah Konstitusi telah mengucapkan sumpah untuk, antara lain "menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya". Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menyebutkan, "nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan keluarganya dan/atau kroninya di atas kepentingan masyarakat".
Pemberian katebelece oleh Arief termasuk pelanggaran undang-undang ini. Permintaan perlakuan khusus ini pun bisa dikategorikan perbuatan tercela, yang diatur Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Dewan Etik semestinya mengusulkan pembentukan Majelis Kehormatan guna menangani masalah ini.
Kita perlu bersikap keras terhadap nepotisme yang ikut menggerus praktek bernegara pada masa lalu. Apalagi jika hal itu dilakukan pejabat selevel Ketua Mahkamah Konstitusi.