Putu Setia
Minggu pertama setiap bulan, seperti hari ini, saya menemui Romo Imam. Itu jadwal rutin konsultasi. Romo Imam saya jadikan konsultan karena pengalaman dan wawasan beliau yang luas.
Sebagai konsultan, pengetahuan dan nasihat beliau akan saya minta. Predikat beliau sebagai konsultan, sebagaimana diuraikan dalam kamus, saya pegang teguh. Yakni, orang yang ahli dalam bidangnya, orang yang memberikan petunjuk, memberikan pertimbangan, memberikan nasihat.
Jika kami bertemu, siapakah yang meminta untuk rapat konsultasi itu? Tentu saja saya, karena sayalah yang memerlukannya. Romo tak perlu membuat jadwal untuk mendatangkan saya, karena memang tak lazim dan mungkin tak etis. Ya, kalau saya punya masalah yang dikonsultasikan, kalau tidak? Jika inisiatif mengundang itu dari Romo, berarti Romo terlalu ge-er (gede rasa, gede rumongso ) atau menempatkan dirinya sok penting, bahkan sok kuasa. Dalam bahasa pasaran--bukan bahasa kamus--orang yang tak kepingin konsultasi, kok, disuruh datang untuk konsultasi, memangnya tak punya kerjaan?
Telanjur membahas kata konsultasi, saya teringat perseteruan setengah hati antara pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, yang membuat rakyat geleng-geleng kepala. Pimpinan Dewan mengundang pimpinan komisi untuk rapat konsultasi, padahal pimpinan KPK merasa tak membutuhkan konsultasi itu. Apalagi materi yang dibahas soal dugaan korupsi yang kemungkinan besar (karena itu orangnya dipanggil KPK) melibatkan Badan Anggaran DPR. Ya, masuk akal kalau pimpinan Komisi menolak datang.
Lalu, muncullah wacana dari Senayan, kurang-lebih intinya begini: Kalau KPK tak datang, sesuai dengan undang-undang mereka bisa dipanggil dengan paksa, hak dewan untuk memanggil siapa pun juga. Presiden saja bisa dipanggil. Nah, ini membuat bingung lagi. Pimpinan komisi dipanggil untuk dimintai keterangan atau untuk rapat konsultasi? Siapa sebenarnya yang butuh konsultasi, dan siapa pula sebenarnya yang berstatus sebagai konsultan?
Dalam berita dan pernyataan yang lain, DPR memanggil KPK itu tidak memakai istilah rapat konsultasi melainkan rapat koordinasi--entah mana yang betul, banyak pimpinan lembaga yang tak pernah konsisten memakai kata-kata dalam bahasa Indonesia. Koordinasi itu, mengacu ke kamus, mengandung pengertian menyesuaikan atau mengatur sebaik-baiknya. Kalau konsultasi ada konsultan, koordinasi ada koordinator. Sejak kapankah DPR menjadi koordinator dari lembaga-lembaga negara?
Bahwa wakil rakyat di Senayan bisa ge-er, sok kuasa, seolah lembaganya paling tinggi, memang undang-undang di negeri ini memanjakan mereka. Selain tugas pokoknya di bidang anggaran, legislasi, dan pengawasan, mereka disuruh menentukan siapa yang jadi hakim agung, yang jadi duta besar, yang jadi gubernur bank, dan banyak lagi, termasuk yang jadi pemimpin KPK. Kekuasaan yang besar ini rentan disalahgunakan, misalnya, Eh, lu jadi pimpinan KPK gue yang milih, jangan nangkap orang kite Atau, Gaji deputi gubernur bank besar, lo, bayar dulu ke gue, memangnya suara gue gratis? Atau banyak contoh lain.
Dulu, ketika memformat lembaga DPR, kita berasumsi bahwa yang duduk di sana adalah para wakil yang cerdas, jujur, bijaksana, bermoral. Karena kenyataan sudah jauh panggang dari api, namun kita telanjur punya lembaga yang ideal dipayungi undang-undang superkuat, mari ke depan kita merancang bagaimana memasukkan orang yang benar ke Senayan. Minimal tahu arti kata konsultasi dan koordinasi.