Rencana pemerintah memperberat hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak adalah langkah tepat yang harus segera diwujudkan. Selain jumlah kasusnya terus meningkat, akhir-akhir ini pelaku kejahatan semakin sadis karena juga membunuh korbannya. Upaya ini tidak hanya diharapkan membuat pelaku jera, tapi, yang lebih penting, juga membuat siapa pun berpikir seribu kali sebelum melakukan tindak pidana tersebut.
Dari tahun ke tahun, grafik kekerasan seksual terhadap anak terus naik. Sepanjang 2015 hingga April lalu Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada 150 kasus. Setiap tahun angkanya meningkat hampir seratus persen. Kita tahu kejahatan itu tidak hanya berakibat fisik, tapi juga psikis--penderitaan yang dialami korban seumur hidup.
Kasus terakhir dialami LN, bocah berusia dua tahun yang ditemukan telah menjadi mayat pada Senin pekan lalu. Anak balita itu menjadi korban kekerasan seksual pemuda 26 tahun yang merupakan tetangganya di Kampung Girimulya, Cibungbulan, Bogor, Jawa Barat. Sebelumnya, publik dikejutkan oleh pemerkosaan brutal, yang juga diakhiri dengan pembunuhan, terhadap YY, pelajar SMPN Rejang Lebong, Bengkulu, oleh 14 remaja pada awal April lalu. Pekan lalu 12 pelakunya telah divonis pengadilan 10 tahun penjara. Dua lainnya masih buron.
Agar peristiwa seperti ini tak terulang serta pelakunya mendapat hukuman setimpal, Rabu pekan lalu Presiden Joko Widodo memutuskan kasus kekerasan seksual terhadap anak masuk kategori kejahatan luar biasa. Dengan memberi label ini, Presiden berjanji akan memperberat sanksi pidana untuk pelakunya hingga 20 tahun kurungan. Selain itu, ada hukuman tambahan berupa kebiri dan sanksi sosial, yakni mempublikasikan identitas pelaku ke publik.
Janji Jokowi itu akan tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Kita berharap perpu ini segera diketuk. Selain hukuman berat, perpu ini semestinya memuat "terobosan" mekanisme pembuktian kasus kejahatan seksual.
Selama ini sangat jarang hakim memvonis hukuman pelaku kejahatan seksual hingga maksimal, 15 tahun penjara, seperti diatur undang-undang. Rata-rata pelaku dihukum 4-5 tahun bui. Hakim juga selalu memakai pembuktian konvensional untuk kejahatan ini, yakni menuntut visum atau bukti kekerasan fisik, yang kadang-kadang sudah hilang karena korban baru berani melapor beberapa minggu atau bulan kemudian. Kita berharap, dengan perpu ini, jika semua diatur rinci, hakim berani menjatuhkan hukuman berat karena tak ragu lagi telah terjadi kejahatan seksual.
Kejahatan seksual terhadap anak harus dihentikan. Tapi, selain memperberat hukuman, peran orang tua tak kalah penting. Kita tahu teknologi Internet telah demikian merasuki kehidupan kita. Di sinilah para orang tua mesti memberi perhatian pada hal ini: memberi tahu mana yang boleh ditonton dan yang tidak dengan cara yang bijak kepada anak mereka. Peran ini tak kalah penting dibanding langkah pemerintah memperberat hukuman pelaku kejahatan itu.