Sudah lima tahun lebih Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) hadir di Indonesia, namun perannya belum juga "terdengar". Sebagai pembisik Presiden dan pengawas polisi, kinerja lembaga ini terasa kurang menonjol.
Selama ini publik melihat Kompolnas baru ribut bersuara menjelang pergantian Kepala Polri atau pejabat Polri. Tiap-tiap anggota seperti berlomba menggadang-gadang usulan nama. Setelah Kepala Polri terpilih, mereka kemudian diam atau "tidur panjang". Saat ada kebijakan-kebijakan di Kepolisian yang melenceng dan publik menuntut peran Kompolnas, mereka malah membisu. Contohnya, saat terjadi penangkapan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, yang dilakukan penyidik Badan Reserse Kriminal. Tindakan arogan kepolisian itu seharusnya disikapi oleh lembaga yang melakukan pengawasan, seperti Komisi Kepolisian Nasional.
Sejatinya, Kompolnas merupakan institusi di bawah presiden yang memberi masukan dan mengawasi kinerja Polri. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, disebutkan bahwa wewenang Kompolnas antara lain memberi saran dan pertimbangan kepada presiden dalam upaya mewujudkan Polri yang profesional dan mandiri. Lembaga ini lahir untuk mewakili semangat reformasi dan keinginan meningkatkan profesionalisme Polri. Jadi, sangat aneh bila Kompolnas malah kerap kali seolah mengamini perilaku Polri yang menyimpang dari undang-undang dan norma hukum yang berlaku.
Sayangnya, sebagai pengawas, Kompolnas tak benar-benar punya kekuasaan. Lembaga ini tak bisa menjatuhkan sanksi kepada pejabat Polri yang nakal. Mereka hanya bisa menyampaikan usulan kepada presiden. Inilah yang membuat Kompolnas sering diledek sebagai banci.
Kendati begitu, pengaruh lembaga ini bisa makin besar bila anggota-anggotanya berani melawan penyimpangan yang terjadi di Kepolisian. Presiden akan lebih mudah mengambil sikap bila mendapatkan masukan yang jujur dan sesuai dengan hati nurani rakyat. Kita amat butuh komisioner-komisioner yang lantang bersuara, seperti Adrianus Meliala yang berani mengkritik bahwa reserse menjadi mesin ATM pemimpin Polri. Akibatnya, Adrianus dilaporkan Badan Reserse Kriminal Polri.
Kepolisian seharusnya tak boleh alergi terhadap kritik dari Kompolnas. Kritik itu demi perbaikan Kepolisian. Kejadian seperti itu seharusnya tak boleh terulang.
Kinerja Kompolnas layak didukung. Di masa lalu, Kompolnas ibarat tukang pos. Lembaga itu hanya menerima aduan dari masyarakat atas kinerja Polri. Itu pun tak optimal. Surat-surat yang disampaikan ke Polri ihwal berbagai keluhan masyarakat kurang ditanggapi jajaran Polri. Pada 2015, Kompolnas menerima 1.493 aduan masyarakat, namun hanya 25 persen yang ditanggapi.
Karena itu, sebagai sebuah lembaga, Kompolnas juga perlu diperkuat sehingga memiliki wewenang yang lebih besar dalam mengawasi Polri. Tanpa penguatan peran dan kewenangan, komisi negara seperti Kompolnas menjadi sia-sia belaka.