Lelucon datang dari mana-mana, termasuk dari arena Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar di Nusa Dua, Bali, dua hari lalu. Politikus yang jatuh dari kursi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat karena persoalan etik, lalu dirokade untuk memimpin fraksinya, kini menang mudah dalam pemilihan Ketua Umum Partai Golkar: Setya Novanto.
Terlepas dari calon lain yang kurang menarik, terpilihnya Setya cukup memprihatinkan. Hal ini menegaskan bahwa Partai Golkar tidak menganggap persoalan etik sebagai hal penting. Elite partai itu bersikap sangat pragmatis, hanya memenangkan calon dengan kekuatan dana paling besar.
Baca Juga:
Setya dikenal sebagai politikus kontroversial. Ketika menduduki kursi Ketua Dewan sejak 2 Oktober 2014, ia dinyatakan dua kali terbukti melanggar kode etik. Pertama, dia dihukum ringan berupa teguran karena menghadiri kampanye calon Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, di New York, 3 September 2015.
Pelanggaran kedua berkaitan dengan pencatutan nama Presiden dalam pembahasan perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia.Mayoritas Majelis Kehormatan Dewan menyatakan ia terbukti melanggar kode etik dengan sanksi sedang, yang artinya Setya harus segera meninggalkan jabatannya. Dengan licin, sebelum palu keputusan diketukkan, Setya menyatakan mundur.
Humor sebenarnya sudah dimulai dari sini. Alih-alih menyingkirkannya dari gedung Dewan, Ketua Umum Aburizal Bakrie memindahkan Setya menjadi Ketua Fraksi Partai Golkar. Setya bertukar tempat saja dengan Ade Komarudin, yang kemudian menjadi pesaing terdekatnya dalam pemilihan ketua umum. Sejak awal, persoalan etik hanya dianggap mainan.
Jauh sebelum memimpin DPR, Setya, yang menjadi anggota Dewan sejak 1999, disebut terlibat dalam sejumlah perkara. Sebut saja kasus dugaan korupsi pada proyek KTP elektronik dan dana proyek Pekan Olahraga Nasional XVIII di Riau. Dia juga diduga terlibat kasus impor beras ilegal Vietnam pada 2006. Dengan lilitan berbagai masalah itu, sebenarnya Golkar telah memilih ketua umum yang memiliki posisi politik lemah.
Bisa jadi posisi lemah sang ketua umum itulah yang justru merupakan keinginan pemerintah. Setidaknya, hal itu terlihat dari keaktifan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Pandjaitan dalam menyokong Setya Novanto di arena Musyawarah Nasional Luar Biasa Golkar.
Bukan kebetulan jika terpilihnya Setya berbarengan dengan perubahan sikap politik partai itu. Dari semula beroposisi, Golkar kini menyatakan mendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Mereka mengklaim keputusan meninggalkan koalisi pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa pada pemilihan presiden tahun lalu itu "sesuai doktrin karya-kekaryaan".
Besar kemungkinan partai berlambang beringin ini akan menempatkan wakilnya di kabinet Jokowi. Golkar akan kembali ke habitatnya sebagai partai pemerintah. Humor politik mungkin masih akan berlanjut.