Putu Setia
Kerja. Kerja. Kerja. Baca tiga kali, tapi tak perlu setiap hari, nanti dikira obat asma. Kalau hanya dibaca sekali, kata ini terasa hambar, tanpa ada penekanan. Dahlan Iskan, ketika masih menjabat Direktur Utama PT PLN, menggunakan kata yang diulang tiga kali itu untuk memberi semangat "bekerja habis-habisan" kepada anak buahnya. Wajah perusahaan setrum negara itu pun segera berubah. Program sejuta sambungan baru, listrik prabayar, dan meminimalkan byar-pet, yang tadinya seperti mustahil dilaksanakan, tiba-tiba di ada depan mata. Dulu minta tambahan daya menunggu seminggu, sekarang bisa telepon tengah malam ke call center PLN.
Slogan "kerja, kerja, kerja" dibawa Dahlan ke kantornya yang baru sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara. Bukan cuma di bibir, tapi dilaksanakan. Kerja Direksi BUMN dimaksimalkan, Komisaris BUMN diberi wewenang lebih. Staf khusus dan staf ahli dihapus, kata Dahlan, bukankah yang paling khusus dan paling ahli itu direktur utama? Artinya, direksi dan komisaris BUMN bukan lagi merupakan "jabatan titipan" atau "jabatan hadiah". Kesan ini sudah lama ada, pejabat tinggi yang pensiun diberi jabatan komisaris di BUMN, padahal dia tak mengerti masalah di sana.
Bagi saya, tak ada yang baru dari ucapan Dahlan soal "kerja, kerja, kerja" itu. Pada pertengahan 1978, Dahlan pindah dari Samarinda ke Surabaya, dan saya pindah dari Denpasar ke Yogyakarta. Majalah Tempo bertekad membangun organisasi dengan manajemen modern. Dahlan dengan stafnya memulai dari kamar 3 x 3 meter. Di sana tergeletak mesin ketik, koran, termos, juga kasur. Di Yogya juga sama. Kalau kami saling berkunjung, obrolan pasti ramai, tapi selalu berhenti dengan teriakan: kerja, kerja, kerja.
Dahlan kini jadi orang sukses, kaya, dan terkenal. Saya jauh dari sukses, tidak kaya, dan sama sekali tak terkenal. Tapi saya bangga Dahlan masih tetap asyik naik kereta api kelas rakyat, seperti 30 tahun lalu kalau kami ke Jakarta. Asalkan jangan sering-sering, karena Dahlan sekarang menteri, nanti terbuka kesan: "Dahlan mencari popularitas murahan". Maklum, banyak politikus yang punya hobi iri.
Indonesia, yang kini terpuruk, sebenarnya bisa bangkit dengan konsep sederhana itu: kerja, kerja, kerja. Kerja yang sesuai dengan bidangnya, bukan ngerjain orang lain supaya orang itu terjungkal. Lalu hormati apa hasil kerja itu. Misalnya, tugas Dewan Perwakilan Rakyat mengawasi, lalu mereka menemukan kejanggalan dalam kasus Bank Century, sehingga mereka yakin ada korupsi di sana. Adapun Badan Pemeriksa Keuangan, yang melakukan audit, tak menemukan kejanggalan. Maka hormati kerja BPK, bukan melecehkan dan meminta auditor internasional. Kalau nanti Komisi Pemberantasan Korupsi, misalnya, tak menemukan juga unsur korupsi dalam kasus ini, apakah DPR meminta turun tangan KPK internasional? Jangan memaksakan hasil kerja sebuah lembaga berdasarkan apa yang diduga lembaga lain.
Dahlan menghormati hasil kerja keras orang lain. Sepatu kets, baju lengan panjang yang digulung, serta cara bicara dan berjalannya tetap seperti Dahlan Iskan yang lalu. Indonesia membutuhkan orang-orang apa adanya seperti ini, bukan "manusia sandiwara", yang setelah jadi pejabat lalu mematut-matutkan dirinya: harus ada sopir, ada ajudan, ada pelayan, kapan harus tersenyum, dan bagaimana melangkahkan kaki. Presiden Amerika Serikat Barack Obama, ketika turun dari pesawat sendirian tanpa istri, berlari kecil. Ia berjalan, berpidato, dan ngobrol dengan sikap biasa saja. Pejabat kita, waduh, penuh basa-basi feodalisme. Berjalan menghitung langkah, pidato memakai teks, pantas saja Dahlan gerah ketika tahu ada Direksi BUMN yang punya "staf khusus membuat pidato".