Putu Setia
Jangan ada dusta di antara kita. Ini satu kalimat dalam lirik lagu lama, tapi sering dikumandangkan dalam acara nostalgia di berbagai radio. Kalimat itu pun sering dikutip oleh para pejabat, apakah dia politikus atau pejabat karier nonpolitikus. Penekanannya ada pada kata "dusta". Cuma, sementara dalam lagu dusta itu berkaitan dengan cinta, dalam dunia yang tak berurusan dengan senandung, dusta berkaitan dengan persahabatan, kebijaksanaan, pernyataan, dan seterusnya.
Dusta sudah memenuhi atmosfer negeri ini. Dari Aceh sampai Papua, virus dusta sudah memasuki berbagai lapisan masyarakat. Dari pejabat tinggi sampai pejabat rendah, urusan dusta sudah tak asing lagi. Bahkan berbagai instansi menggunakan dusta justru untuk mempertahankan citranya, atau setidak-tidaknya untuk membantah tuduhan negatif yang mengarah ke instansi tersebut.
Sebut saja kepolisian. Setiap polisi bentrok dengan rakyat dan memakan korban jiwa, polisi selalu bilang, tak pernah menggunakan peluru tajam. Ketika ada bukti selongsong peluru ditemukan, dusta pun direvisi menjadi: sudah sesuai dengan prosedur, peluru hampa dulu, peluru karet menyusul, dan dalam keadaan terpaksa baru peluru tajam untuk melumpuhkan. Kenapa korban sampai tewas? Dusta direvisi lagi: korbannya barangkali sedang merunduk.
Kasus anyar tentang kematian dua adik-kakak, Faisal Akbar dan Budri M. Zen, di tahanan Kepolisian Sektor Sijunjung, Sumatera Barat. Dari instansi kepolisian yang paling rendah sampai yang tertinggi sepakat menyebut Faisal dan Budri tewas gantung diri bersamaan di kamar mandi. Kenapa orang tewas gantung diri tubuhnya penuh lebam dan lehernya patah? Dusta pun ditambah satu tingkat: itu akibat dikeroyok warga. Ketika warga bisa membuktikan tak pernah mengeroyok Faisal--apalagi Budri--dusta akan diteruskan sampai beberapa tingkat lagi.
Tapi bukan hanya polisi yang memonopoli dusta. Anggota parlemen yang punya sebutan "yang terhormat" (polisi tak memakai sebutan itu) juga menyimpan banyak dusta. Bahkan dusta dijadikan hobi, seperti hobi memakai mobil mewah dan hobi malas menghadiri sidang. Kasus paling gres soal renovasi ruang rapat Badan Anggaran senilai Rp 20 miliaran itu. Setelah media massa jail mempermasalahkan hal ini, dan setelah Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat takut berdusta, lalu membeberkan apa adanya, para wakil rakyat ramai-ramai bilang tidak tahu.
Apakah itu dusta atau bukan? Kalau anggota parlemen tak pernah mengeluhkan soal ruang rapatnya yang sekarang, bagaimana mungkin ada rencana merenovasi? Kalau Badan Urusan Rumah Tangga DPR tak menyetujui renovasi dan Badan Anggaran tak menyetujui anggarannya, bagaimana mungkin Sekjen DPR melaksanakan proyek itu? Situasi transparan seperti ini memang menyulitkan untuk berdusta. Misalnya bilang, "Wah, saya baru tahu setelah kursi dari Jerman itu dipasang." Ini artinya anggota DPR tak tahu rumahnya sendiri. Lalu bagaimana ia tahu rumah rakyat di Flores, Sampit, Bima, dan lainnya?
Biar adil, jangan cuma menyebut polisi dan politikus. Mari sebut eksekutif, misalnya, menteri. Wah, kalau dusta para menteri ditulis, perlu berlembar-lembar halaman. Bagaimana kalau cari satu contoh kecil saja--dan sepele--yakni mobil Menteri Muhaimin yang mendadak mogok dan menyebabkan tabrakan beruntun di Malang. Sudah jelas gambarnya terpampang di media massa betapa hancurnya beberapa mobil akibat tabrakan beruntun itu, Muhaimin tetap bilang, "Enggak ada, tuh, tabrakan. Aku lancar-lancar saja."
Apakah perlu Presiden mengeluarkan instruksi mengakhiri dusta? Jangan-jangan malah ini menambah dusta baru.