Putu Setia
Kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat sangat mahal. Pernyataan ini sudah lama ada, sejak Orde Baru, Orde Reformasi, sampai "orde salah pilih" sekarang ini. Namun kata kursi itu diapit tanda petik menjadi "kursi". Berarti kiasan, yang dimaksud adalah jabatan.
Maklum, ketika sistem pemilihan umum legislatif memakai nomor urut, calon wakil rakyat harus menyetor sejumlah uang kepada pemimpin partai di daerah, lalu segepok duit lagi kepada pemimpin partai di pusat, agar nomornya kecil. Ketika sistem berubah memakai perolehan suara, ternyata jumlah uang yang keluar lebih banyak untuk membeli suara langsung di masyarakat. Apalagi rakyat semakin cerdas, uang diterima dari setiap calon sambil bersumpah akan mencoblosnya--dan rakyat yang cerdas itu tahu sumpah di depan "pemabuk jabatan" tak akan apa-apa. Walhasil, kita mendapatkan anggota DPR yang menanam modal terlalu banyak untuk "kursi", lalu berupaya selama menjabat mendapat "pengembalian" plus "bunga".
Itulah wajah parlemen kita sekarang. Orang-orang yang cerdik memanfaatkan peluang untuk menimbun harta--studi banding, dana reses, tunjangan komunikasi, sampai minta obat kuat. Lalu mencuri waktu untuk job di luar--ngurusi listrik tenaga surya, bisnis batu bara, calo anggaran--yang membuat sidang kosong melompong.
Sudah kelakuannya begitu, gaya bicaranya "tinggi", menunjukkan "aku yang lebih kuat". Lihat gaya mereka ketika berdialog dengan eksekutif. Main tuding, ucapan kurang etika, dan selalu menekan lawan bicaranya bak pengacara dalam sidang pengadilan--eh, ya, memang banyak mantan pengacara.
Apakah benar kita berada di era "demokrasi salah pilih", mengutip istilah yang dipopulerkan sebuah televisi swasta. Barangkali benar. Anggota parlemen mabuk menikmati "kursi" yang mahal itu, dan kini sudah pula datang kursi (tanpa tanda petik) yang juga mahal, Rp 24 juta sebuah. Kursi itu diimpor dari Jerman dengan pesawat terbang--kalau pakai kapal laut kelamaan, mungkin mereka tak sabar.
Dengan wajah parlemen seperti sekarang, tentu jauh berjarak dari kehidupan rakyat. Rakyat bergulat dengan sampah dan lumpur di saat musim banjir ini, wakil rakyat merasa ruangnya kurang wangi jika tak ada pewangi impor. Maka dianggarkanlah uang pewangi Rp 1,3 miliar--wong yang membuat anggaran dan menyetujuinya mereka, kok, eksekutif mau apa. Toilet dirombak (padahal di gedung bertingkat itu tak ada banjir), butuh anggaran Rp 2 miliar. Kalender dicetak dengan biaya miliaran untuk mengisi seluruh ruangan, eh, gambarnya kegiatan mereka juga--kok tak bosan melihat dirinya sendiri? Semestinya di gedung rakyat itu dipajang kalender "kelas rakyat", ada gambar petani membajak sawah, ibu-ibu membatik, anak kecil memahat, dan banyak lagi coraknya. Pasti gratis karena rakyat mau menyumbang kalender itu agar mereka diperhatikan--minimal diperhatikan gambarnya.
Soal kursi yang mahal itu, Ketua DPR Marzuki Alie meminta agar kursi tersebut dikeluarkan dan dikembalikan. Ini menusuk perasaan rakyat, kata dia, sambil bertanya: apa lagi yang bisa dikeluarkan dari ruangan yang mewah ini? Belum ada yang usul kepada Marzuki apa yang mesti dikeluarkan lagi. Kalau suara rakyat diperhatikan, baik lewat percakapan sehari-hari maupun lewat jejaring sosial, ada yang perlu dipikirkan untuk dikeluarkan dari gedung parlemen Senayan. Yakni, orang-orang yang duduk di kursi Dewan itu, kembalikan ke habitat mereka yang benar. Lalu mari kita kaji bersama sebuah sistem pemilihan untuk mendapatkan wakil rakyat yang betul-betul tahu rakyat, dari keluhannya sampai baunya.