Terbitnya peraturan Menteri Perhubungan tentang perusahaan transportasi berbasis teknologi digital seharusnya menjadi jawaban atas kontroversi taksi online. Sayangnya, Peraturan Nomor 32 Tahun 2016 yang berupaya merangkul perusahaan seperti Grab dan Uber itu mengandung banyak kelemahan. Aturan itu juga tidak mencakup soal ojek.
Rabu lalu, pemerintah mengizinkan perusahaan pemesanan kendaraan online, Grab dan Uber, kembali beroperasi secara normal. Syaratnya, mereka harus bekerja sama dengan badan usaha angkutan transportasi atau koperasi yang diberi izin menyelenggarakan angkutan umum. Kementerian Perhubungan juga mewajibkan tiga hal bagi pengelola dan pengemudinya. Pertama, pengemudi harus mengantongi surat izin mengemudi (SIM) A umum atau B1 umum. Kedua, kendaraan harus lulus uji kendaraan bermotor (kir). Ketiga, surat tanda nomor kendaraan diganti menjadi atas nama perusahaan.
Di antara tiga aturan baru di atas, kewajiban pengemudi memakai SIM A umum atau B1 dan aturan wajib kir bisa dimaklumi. Kita patut mengapresiasi hal tersebut karena bisa memberi jaminan keselamatan bagi konsumen. Selama ini, menurut data Kementerian Perhubungan, hanya 300 dari 3.300 kendaraan taksi online yang lulus uji kir.
Adapun aturan ketiga, yakni taksi online mesti memakai kendaraan dengan STNK atas nama perusahaan, sungguh konyol. Ketentuan itu tidak mengakomodasi adanya ekonomi berbagi, yang kini menjadi tren global dan menjadi dasar usaha taksi online seperti Grab dan Uber.
Selama ini usaha Grab dan Uber bisa tumbuh pesat dan beroperasi efisien lantaran mereka memakai konsep ekonomi berbagi, yakni memanfaatkan kendaraan yang menganggur. Sejak peluncurannya setahun yang lalu di Jakarta, sedikitnya 6.000 pemilik kendaraan bergabung dengan Grab, perusahaan Malaysia yang berbasis di Singapura. Jumlah kendaraan yang bergabung dengan Uber pun lebih dari 10 ribu mobil. Adapun jumlah anggota Go-Jek lebih fantastis: lebih dari 200 ribu orang. Dengan kewajiban STNK atas nama perusahaan, otomatis tak ada lagi kekuatan ekonomi berbagi.
Aturan aneh ini akan membuat publik juga bertanya-tanya: apakah kendaraan yang memiliki STNK atas nama perusahaan bakal bisa menjamin layanan yang lebih baik bagi konsumen? Faktanya, saat ini banyak taksi milik perusahaan yang kualitas layanannya amburadul.
Keberadaan taksi online yang mengandalkan ekonomi berbagi selayaknya tidak dilihat dari perspektif sempit. Pemerintah tak harus mewajibkan adanya STNK milik perusahaan untuk menjamin keselamatan penumpang. Cukuplah pemerintah memberi sanksi keras bila terjadi pelanggaran, misalnya mobil yang melanggar tak boleh "disewakan" satu atau dua tahun.
Kelemahan lain peraturan menteri soal transportasi online ini adalah tak mengatur ojek konvensional maupun ojek online. Bisnis ojek dibiarkan seperti sebuah dunia antah-berantah tanpa aturan. Sudah waktunya pemerintah berani merevisi peraturan yang jelas bertabrakan dengan tren perubahan yang terjadi.